Di kamar ini, beberapa wanita berkumpul, mencoba sok sok menata nasib, menjalani kelanjutan kehidupan, berjuang mengumpulkan rindu rindu yang sebenarnya sungguh tak bisa ditahan sebuah pun.
ini minggu kedua. sampai saat ini sudah 18 keping rindu yang kukumpulkan di sebuah toples dari kaca tipis yang rapuh. aku mengumpulkan setidaknya satu rindu di setiap hari. namun ada kala dimana hari hari terasa berat dan aku merindu lebih dari biasanya. Toples itu ditutup oleh sejenis selaput tipis yang gampang robek dan koyak. Tiap hari kubuka dan kututup toples itu dengan hatihati, agar nanti rinduku tetap tersimpan dalam toples, tak kabur keluar. Aku tak tau entah bagaimana nanti jika toples itu sudah penuh oleh rindu rindu dan seketika ingin membuncah keluar memecahkan kaca toples, mengoyak selaput tipisnya dan kabarnya sampai mampu mengeluarkan air dari sela sela mata.
aku menabung rindu, untuk nanti diberikan kepadanya.
aku menabung rindu, untuk nanti bisa dikeluarkan pada saatnya.
aku menabung rindu, untuk nanti bisa dinikmati bersama dengan tertawaan.
dan aku menabung rindu, sematamata karena aku wanita, yang berpurapura kuat menabung rindu, demi segala rasa yang dirasa, dan menjaga apa yang sepatutnya dijaga.
dan semoga ia mau melahap rinduku itu beserta toples kaca dan selaput tipisnya dengan rakus.
Senin, 01 Juni 2015
Selasa, 28 April 2015
Secangkir Teh
Ada masanya aku sangat tidak mencintai kesendirian.
Masa dimana kesendirian sama saja dengan saat diwaktu aku sangat menginginkan teh manis hangat dan memesannya di sebuah cafe langganan, namun kenyataannya teh yang diberikan adalah teh yang sudah dingin dan hambar. Rasanya enggan untuk mereguk walaupun lagi haus mampus sekalipun. Karena pada awalnya sudah ada pengharapan dan ekspektasi bahwa aku akan disajikan sebuah teh manis yang hangat, dan ketika teh tersebut menyapu kerongkongan hingga perut, sudah terbayang olehku rasa hangatnya yang menyeluruh ke tubuh. Dan dalam ekspektasiku, setelah meminum teh manis hangat tersebut aku akan tersenyum kecil. Namun tidak. Teh ini tidak sesuai dengan pengharapanku. Dan aku berhak protes karena aku membayar untuk secangkir teh manis hangat. Bukan untuk secangkir teh dingin yang hambar. Sekali lagi, bukannya aku tidak bersyukur, hanya saja, ini sebuah negoisasi. Rasa kesendirian yang dulu lamat lamat kunikmati, kini menjelma sebuah serangan. Bagaikan kawan lama menjadi musuh.
Ada lagi masa dimana rasa cinta ku makin menjadi.
Namun cinta kali ini tak memberikan efek bergantinya lagu di playlist handphoneku menjadi sedikit melow, atau mendayu dayu menghujankan kata kata cinta. Tak memberikan efek penuhnya ruang ruang kosong di buku tulisku dengan bentuk hati serta diiringi namanya. Tidak. Tidak cinta yang efeknya sama ketika kau jatuh cinta saat di bangku sekolah. Cinta kali ini sangat mendewasakan hati. Memaksaku untuk diam ketika teh manis hangat yang kupesan tak dihidangkan di meja. Mengelus dada dan bersabar ketika menyeruput teh dingin yang hambar, sembari memaksa untuk tersenyum menerima dan menelan secangkir penuh sampai dasarnya kering tak bersisa. Tak peduli itu adalah sebuah negosiasi yang mana adalah ‘bodoh’ karena aku tidak komplain padahal aku berhak untuk itu. Aku berhak atas harga yang aku bayar untuk sebuah orderan yang tidak aku pesan. Namun tidak, aku menenggaknya saja sampai habis.
Terhimpit di antara dua masa itu, tubuhku memberontak, membuat intinya hampir terkoyak. Bagaimana bisa hal yang begitu indah dengan hal yang begitu ironi bisa beririsan keberadaannya seperti ini? Ingin berteriak namun hanya kepalan tangan yang terasa. Kepalan yang kuat hingga kuku kuku jariku yang belum kupotong sedikit menembus daging telapak tanganku. Seharusnya sakit, namun kali ini belum terasa.
Haruskah aku maju atau kembali?
Ketika pelayan itu terus terusan memberikanku teh dingin hambar setiap kali aku memesan, akankah rasa muak itu muncul? Atau aku hanya bisa menenggak habis kedinginan yang kurasakan sampai aku ingin berkali kali kencing itu? Akankah aku berani untuk komplain? Ketimbang hanya menerima dan lebih lebih memberikan tips sebuah senyuman manis serta melayangkan ucapan ‘terima kasih’?
Sungguh tanda tanya yang begitu banyak. Entah kapan tiba waktunya saattanda tanya ini menusuk ubun ubun kepalaku sehingga aku berhenti untuk bertanya terlalu banyak.
Ingin sekali aku kembali ke masa itu. Masa dimana aku menikmati kesendirian, dengan menyeruput segelas teh manis hangat dalam damai.
Masa dimana kesendirian sama saja dengan saat diwaktu aku sangat menginginkan teh manis hangat dan memesannya di sebuah cafe langganan, namun kenyataannya teh yang diberikan adalah teh yang sudah dingin dan hambar. Rasanya enggan untuk mereguk walaupun lagi haus mampus sekalipun. Karena pada awalnya sudah ada pengharapan dan ekspektasi bahwa aku akan disajikan sebuah teh manis yang hangat, dan ketika teh tersebut menyapu kerongkongan hingga perut, sudah terbayang olehku rasa hangatnya yang menyeluruh ke tubuh. Dan dalam ekspektasiku, setelah meminum teh manis hangat tersebut aku akan tersenyum kecil. Namun tidak. Teh ini tidak sesuai dengan pengharapanku. Dan aku berhak protes karena aku membayar untuk secangkir teh manis hangat. Bukan untuk secangkir teh dingin yang hambar. Sekali lagi, bukannya aku tidak bersyukur, hanya saja, ini sebuah negoisasi. Rasa kesendirian yang dulu lamat lamat kunikmati, kini menjelma sebuah serangan. Bagaikan kawan lama menjadi musuh.
Ada lagi masa dimana rasa cinta ku makin menjadi.
Namun cinta kali ini tak memberikan efek bergantinya lagu di playlist handphoneku menjadi sedikit melow, atau mendayu dayu menghujankan kata kata cinta. Tak memberikan efek penuhnya ruang ruang kosong di buku tulisku dengan bentuk hati serta diiringi namanya. Tidak. Tidak cinta yang efeknya sama ketika kau jatuh cinta saat di bangku sekolah. Cinta kali ini sangat mendewasakan hati. Memaksaku untuk diam ketika teh manis hangat yang kupesan tak dihidangkan di meja. Mengelus dada dan bersabar ketika menyeruput teh dingin yang hambar, sembari memaksa untuk tersenyum menerima dan menelan secangkir penuh sampai dasarnya kering tak bersisa. Tak peduli itu adalah sebuah negosiasi yang mana adalah ‘bodoh’ karena aku tidak komplain padahal aku berhak untuk itu. Aku berhak atas harga yang aku bayar untuk sebuah orderan yang tidak aku pesan. Namun tidak, aku menenggaknya saja sampai habis.
Terhimpit di antara dua masa itu, tubuhku memberontak, membuat intinya hampir terkoyak. Bagaimana bisa hal yang begitu indah dengan hal yang begitu ironi bisa beririsan keberadaannya seperti ini? Ingin berteriak namun hanya kepalan tangan yang terasa. Kepalan yang kuat hingga kuku kuku jariku yang belum kupotong sedikit menembus daging telapak tanganku. Seharusnya sakit, namun kali ini belum terasa.
Haruskah aku maju atau kembali?
Ketika pelayan itu terus terusan memberikanku teh dingin hambar setiap kali aku memesan, akankah rasa muak itu muncul? Atau aku hanya bisa menenggak habis kedinginan yang kurasakan sampai aku ingin berkali kali kencing itu? Akankah aku berani untuk komplain? Ketimbang hanya menerima dan lebih lebih memberikan tips sebuah senyuman manis serta melayangkan ucapan ‘terima kasih’?
Sungguh tanda tanya yang begitu banyak. Entah kapan tiba waktunya saattanda tanya ini menusuk ubun ubun kepalaku sehingga aku berhenti untuk bertanya terlalu banyak.
Ingin sekali aku kembali ke masa itu. Masa dimana aku menikmati kesendirian, dengan menyeruput segelas teh manis hangat dalam damai.
Sabtu, 18 April 2015
Ingat Bersama
Untuk saat ini, saya hanya bisa bilang: nikmati dan hargailah setiap kebersamaan yang kamu rasakan selagi kamu masih punya waktu. Karena nantinya kebersamaan yang dirasakan itu hanya akan jadi kenangan di kemudian hari. Celakanya kebanyakan dari kita hanya menganggap kebersamaan yang terasa nyata hanya sebatas apa apa yang sewajarnya terjadi. Tak banyak yang bisa menyadari dan menghargai setiap detik rasa syukur atas diberikannya nikmat kebersamaan oleh Yang Maha Kuasa. Bahkan seringkali kita melupakan esensi dari setiap hubungan yang kita mulai dari tiap tiap perkenalan. Menghargai momen berarti menghargai tiap orang yang terlibat dalam momen tersebut. Jangan sampai karena sikap ketidakpedulian dari diri kita yang bebal menumbuhkan rasa penyesalan karena tidak bisa kembali lagi ke masa masa dimana kita ikut serta dalam momen kebersamaan.
Saya merindukan masa masa kebersamaan itu. Masa dimana kita dianggap dan penting, masa dimana kita dekat dengan orang orang yang peduli pada kita, masa dimana kita peduli pada orang lain yang peduli pada kita, masa dimana rasa kepedulian itu tidak hanya bertepuk sebelah tangan, masa dimana kita bersama sama saling menginginkan dan mengharapkan satu sama lain, masa dimana kita bersama sama menertawakan dan menangisi segala hal yang bisa kita nikmati bersama. Saat itu.. sungguh, saya merasa tidak sendirian. Kebersamaan tersebut sungguh melebihi kenangan indah bersama sang mantan pacar. Melebihi segala masa yang pernah saya lewati. Benar benar singgah di benak dan hati. Benar benar sungguh susah untuk dilupakan.
Kerinduan itu semakin menjadi ketika saya merasa sendiri. Sangat sendiri. Seperti saat ini.
Saya merindukan masa masa kebersamaan itu. Masa dimana kita dianggap dan penting, masa dimana kita dekat dengan orang orang yang peduli pada kita, masa dimana kita peduli pada orang lain yang peduli pada kita, masa dimana rasa kepedulian itu tidak hanya bertepuk sebelah tangan, masa dimana kita bersama sama saling menginginkan dan mengharapkan satu sama lain, masa dimana kita bersama sama menertawakan dan menangisi segala hal yang bisa kita nikmati bersama. Saat itu.. sungguh, saya merasa tidak sendirian. Kebersamaan tersebut sungguh melebihi kenangan indah bersama sang mantan pacar. Melebihi segala masa yang pernah saya lewati. Benar benar singgah di benak dan hati. Benar benar sungguh susah untuk dilupakan.
Kerinduan itu semakin menjadi ketika saya merasa sendiri. Sangat sendiri. Seperti saat ini.
Selasa, 23 Desember 2014
Mungkin Kau Memungkinkan Diri untuk Memungkinkan Hal yang Tidak Mungkin
Mungkin kau sekarang bertanya-tanya akankah semua akan berjalan dengan baik. Mungkin sekarang kau berharap aku tidak mengacaukan setiap hasrat dan inginmu kelak. Mungkin sekarang kau berujar "dasar bodoh!" pada dirimu sendiri karena membiarkan semuanya terjadi. Mungkin kau sekarang menyesali setiap keputusan yang sudah terlanjur kau ambil. Mungkin sekarang kau berharap tombol ctrl + z eksis di kehidupan nyata. Dan sekelebat kata "mungkin" itu mungkin sedang kau pikirkan sekarang.
Mungkin adalah sebuah kata menduga-duga yang belum pasti benar atau tidaknya sebuah hal. Kata "mungkin" ini tidak akan keluar kalau kita mau menggerakkan pantat kita untuk mencari setiap kebenaran. Namun pergerakan pantat itu sendiri pun juga dipengaruhi oleh bermacam hal, baik dari dalam maupun dari luar diri sendiri. Persentasenya 80 : 20. Empat perlima nya berasal dari diri sendiri. Sherlock gak akan dikagumi oleh Shinichi Kudo jika dia hanya puas dengan kata "mungkin". Poirot akan mati kebosanan jika ia hanya diperbolehkan menggunakan sel abu-abunya untuk mengejar kata "mungkin". Kata "mungkin" bukanlah sebuah kata final. Bukanlah sebuah akhir dari segalanya. Pun jika menjadi akhir, kata "mungkin" tersebut hanyalah bersifat misteri. Bersifat belum selesai, belum terkuak, dan gantung. Sungguh menguraikan segala hal yang tidak memuaskan rasa penasaran. Puas dengan kata "mungkin"? berarti kau tidak mempunyai gairah dalam hidup. Atau kau adalah seorang yang mempunyai keterbatasan. Atau mungkin juga kau seorang pemalas tambun yang mengangkat pantat sendiri yang berat pun tidak mampu. Atau, kau capek.
Namun "mungkin" adalah kata yang dibangun dari setiap dugaan. "mungkin" adalah bentuk lain dari hipotesa awal. Dari situlah rasa curiga dan pertanyaan yang menggelitik itu diungkapkan. Dan kata "mungkin" juga bisa berarti bahwa kau hanya ingin menyenangkan diri sendiri dengan kesimpulan bagus dan baik-baik yang kau ambil atas fakta yang sebenarnya sangat menyakitkan bahkan untuk kau ingat sepintas.
Hanya menulis apa yang terpikirkan saja haha..
Minggu, 23 November 2014
Gloomy when it rains. Because falling is painful.
Sedih rasanya ketika mengingat seseorang yang dulu sempat dekat dengan kita, kini tiba-tiba menjauh. memang alasannya bukan karena ada masalah diantara kami, namun memang keadaan saja yang membikin semua menjadi jauh. karena jarak kita emang jauh. kenangan ketika bersama itu justru membikin tenggorokan tercekat jikalau diingat-ingat. sedih karena dulu pernah ada hal-hal indah dan bahagia yang dilakukan bersama, saling menyemangati dan menjaga. dan semuanya kini hilang. hal tersebut semakin diperparah oleh rasa kesendirian. salah sendiri menjadi introvert. rasanya sungguh bahagia bila berada disekitar orang-orang yang menganggap kita ada, dan butuh dengan kehadirian kita. rasa dibutuhkan. itu yang paling dirindukan ketika kesendirian ini datang. banyak hal-hal indah yang telah dilalui. semoga saya juga bisa menciptakan banyak kenangan indah bersama orang-orang yang akan hadir di kehidupan saya kelak. sungguh, saya tidak ingin sendirian merasa sendiri. tidak ingin ditinggali. dan saya bosan merasa kesepian.