Minggu, 21 April 2013

Meruntuhkan Tembok

Ternyata buka warung di rumah banyak untungnya emang. Selain nambah-nambah penghasilan, juga bisa nambah-nambah kenalan. Baru aja sehari full saya duduk jagain toko (hari ini saya tinggal sendirian), saya udah kenalan sama 6 orang adik-adik kecil yang tinggal di komplek perumahan. Jujur aja, ini sesuatu yang baru bagi saya yang terbiasa duduk di kamar ngerjain tugas, atau Cuma ngenet dan baca komik atau novel, mengoleksi debu. Saya jarang berinteraksi dengan tetangga.

Tapi setelah warung ini dibangun, tentu saja saya sebagai anak juga ikut bertanggungjawab mengambil bagian jaga toko. Awalnya saya sebal, malas, grogi, aneh, membayangkan kalau nantinya saya bakal berhadapan sama banyak orang. Itu bukan saya banget. Trauma lama sama tetangga menyebabkan saya untuk menutup diri dari pergaulan sekitar rumah. Dan sekarang tiba-tiba saya dihadapkan pada sebuah kewajiban untuk menjaga sebuah warung. Tempat transaksi, tempat dimana banyaknya interaksi sosial terjadi. Ngeri? Iya!
Namun saya gak punya pilihan. Lagian kalau saya membiarkan orang tua saya bekerja sendirian sedangkan saya asyik-asyikan di kamar, kok rasanya saya kurang ajar sekali. Jadilah dengan penuh tanggungjawab, saya ikut ambil andil dalam penjagaan toko ini. Sekalian belajar gaul. Jujur, saya juga gak mau lama-lama hidup sama tembok. Dingin.

Hari ini berjalan baik. Walaupun saya gak apal-apal banget berapa harga barang karena ada sekitar seratusan lebih jenis barang di warung kami (untungnya ada daftar harga yang saya susun rapih dalam bentuk tabel. Iya, saya lebih berminat jadi manager daripada jadi penjaga warung hahaha). Hari ini saya jaga warung sembari menyelesaikan revisi tugas akhir saya (besok mau bimbingan lagi soalnya).

Seperti yang saya bilang tadi, saya jadi banyak kenal adik-adik kecil di komplek sini. Ada Dhea dan Ayu, adik kakak berambut kuncir kuda asal Bandung, yang hari ini udah tiga kali mampir ke warung dengan sepeda pink mereka. Dhea si kakak kelas 3 SD, dan Ayu yang baru berumur 5 tahun. Mereka suka Alpenliebe Eclairs. Selalu itu yang mereka beli. Kedatangan mereka yang pertama, saya Cuma senyum aja, gak banyak ngomong. Pengen sih nanyain nama mereka siapa, tapi emang dasar grogian, saya Cuma senyum aja dan bilang “makasih,” waktu mereka pergi. Gitu juga sama kedatangan mereka yang kedua kali. Tapi pas yang ketiga kalinya, saya beranikan diri untuk nanya nama mereka, karena mereka senyum-senyum ngeliat saya yang juga senyum-senyum dari tadi. Akhirnya saya dapat dua orang kenalan baru.

Kemudian ada juga Frans dan Pelik, abang adik yang juga asal jawa. Sebenarnya dua bersaudara ini juga udah pernah datang kemaren-kemaren, tapi karena hari ini saya full seharian jaga, jadilah intensitas pertemuan kami semakin sering, dan saya pun memberanikan diri untuk berkenalan dengan abang adik ini. Yang sering datang sih si Pelik, bocah umur 3-4 tahunan yang selalu beli kopi atau kalo nggak Royco, kadang-kadang beli chiki juga. Kayaknya dia sering disuruh-suruh emaknya. Nah kalo si Frans ini baru 2 kali saya ngeliatnya. Dia sekitar seumuran Dhea. Gak beda jauh sama adiknya, belanjanya ajinomoto atau kalo nggak kopi.

Terus ada juga Andini dan Rianda, kakak adik yang sering pakai sepeda couple kalau ke warung saya. Andini si kakak manis banget. Rambutnya panjang sepinggang. Rianda juga ganteng banget. Pertama kali yang datang itu si Rianda, bocah umur 4-5 tahunan kayaknya, beli Nutri Sari sachet. Saya yang udah terpesona ngeliat dia dari ujung gang, gak berhenti senyum sampai bocah ini pergi. Gak lama kemudian, bocah itu datang lagi pake sepedaan sama gadis kecil rambut panjang, Andini. Ternyata dia juga mau Nutri Sari sachet. Langsung aja saya ngomong, 
“adiknya ya? Namanya siapa? Kalo kakaknya?”
Jadilah, bertambah lagi kenalan saya.

Lalu ada bocah-bocah Dinda, Luna, dan Niki, Adik kakak ini udah sering bolak-balik tapi nggak pernah mampir, haha.. waktu dia mampir, langsung aja saya nanyain namanya (karena udah biasa dari tadi nanya nama orang kali ya). Tadi saya dibikin malu sama Dinda, si kakak. Tadi pas dia mau beli permen kiss seribu, saya kasih sepuluh. Trus dia bilang,
"Seribu dapat berapa, kak?"
"Sepuluh, dinda"
"Bukannya delapan, kak? Soalnya lima ratus dapat empat"
Saya liat botolnya. Astaga.
"Oh iya, delapan.."
-_-
Dasar pedagang amatiran.

Dan Dinda adalah gadis kecil yang jujur.

Semoga ketika ia dewasa kelak kejujurannya tetap sama seperti kejujuran yang ia tunjukkan ketika tragedi permen kiss ini terjadi. Amin.

Barusan juga ada Gandung (bocah yang jadi tokoh utama dalam postingan saya kemaren), juga asal Jawa, Jogja, pake sepeda juga. Awalnya dia mau beli Chewez dan Chocolatos. Tapi karena uangnya Cuma seribu, dia Cuma beli chocolatos doang. Kayaknya si Gandung ini tipe yang cuek banget. Atau istilah keren dan gaul ala-ala anak mudanya “cool”. Pas saya nanya ke Gandung

"Gandung kelas 6 kan ya?"
"Iya"
"Udah selesai UN nya?"
"Belom"
"Kapan selesainya?"
"Pokoknya belom. Makasih ya kak,"

Dan dia beserta sepedanya pergi begitu saja.

Kalo di komik-komik, plot cerita bagian ini ada semak-semak belukar yang bergulung-gulung di jalan terhembus angin. Atau ada burung gagak “kaaak.. kaaak.. kaaak...”. Atau kalo di Running Man, scene saya yang ini mirip scene Gwangsoo. Lengkap dengan backsound St Agnes and The Burning Train nya.

Sama ibuk-ibuk dan bapak-bapak di kompleks juga, saya lebih banyak berinteraksi dengan mereka hari ini. Biasanya kalo duduk di teras siang-siang aja, saya udah gerah, gak terbiasa, gak nyaman. Tapi entah kenapa, hari ini saya sangat menikmati duduk di depan notebook, menjaga warung, dan melayani setiap konsumen yang datang. Walaupun pinternya cuman senyum-senyum doang awalnya, tapi toh dengan senyum-senyum ini saya udah dapet sembilan orang kenalan baru.

Satu tembok udah runtuh. Saya gak merasa kedinginan lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails