Minggu, 06 Februari 2011

Hemaphrodite

Di ruangan itu,
Seorang wanita.
Pakaiannya mini.
Pahanya ditunjukkan memukau.
Badannya indah.
Pinggulnya ramping.
Berjalan di antara kepulan asap rokok lelaki.
Beberapa saling berbisik dengan tatapan nafsu.
Saat pandanganku sudah didominasi oleh para lelaki, 
aku lebih tertarik dengan wanita itu.
Aku juga wanita yang berhak mencintai kan?
Apa salahnya?
Eits. Wanita itu menatapku. Dia seakan tau isi hatiku.
Sebelum dia berkata-kata aku pun menjawab,
"Yeah, sometimes, i wanna be a bitch."
Wanita itu terbahak, lalu membawaku pergi.
Meninggalkan lelaki berasap rokok di belakang.

Mudah Saja

Mudah saja.
Kamu tak perlu lagi memperhatikan aku.
Oh, maaf. Aku terlalu keGRan ya?
Maksud akun jangan memberikan aku perhatian. Ah.. SAMA SAJA, IDIOT!
Hm. Mungkin gini. Aku merasa kamu memberikan perhatian lebih padaku.
GR?
MEMANG!

Mudah saja.
Kamu tak perlu berhubungan lagi denganku.
Kamu menghubungi aku karena hanya aku yang mau mendengar ceritamu.
Karena hanya aku yang setia menampung ocehanmu tentang DIA, DIA, DIA yang tidak peduli padamu. 

Berbeda dengan aku yang peduli hingga ke ujung helai rambutmu.
Ke sudut ruang tatapan kosong matamu.
Ke selusur pemikiran indahmu tentang DIA!

Mudah saja.
Katakan apa maumu.
Pergi dan seret DIA ke khayalan indahmu, dan tinggalkan aku di sini, di dalam kotak segiempat pepat ini.
Biar aku terkungkung perasaanku sendiri.
Biar dia ini tau rasa!
Biar dia mengecap bagaimana sih indahnya kesalahpahaman.
Salah dia sendiri kenapa tidak menuruti logika ku.
Tapi,
Kau tau tidak, dia selalu tertawa bahagia ketika kau juga tertawa bercerita tentang DIA.
Dia bahkan mampu tersenyum lebar ketika kamu tersipu malu setiap kali menyebut nama DIA.
Dia baik ya? Mungkin polos, atau malah bodoh. haha.

Mudah saja.
Buatkan aku mesin waktu.
Aku putar kembali waktuku.
Jadi, aku tak akan mengenalmu.
Jadi dia-ku tak akan salah paham.
Jadi, DIA tak perlu aku benci. Hingga..

Mungkin saja.
Hidup AKU dan dia-ku, KAMU, DIA,
akan;
mudah saja.

08.00
Saat sisa hujan semalam masih merintik.





Friday, 26 March 2010 at 09:44

Heuh

he’s interesting. 
he knows how to bring himself. 
he’s not perfect but that makes him a human i can stand to be with. 
he’s nice and warm. 
he’s smells so good. 
he smart and talented. 
but then i have to ask myself, why does it feels like something’s wrong?
oh, right. he doesn’t want me.
and i’m smart enough to know that. 
he wants that one particular girl. 
a pretty girl damn high standard.

hhahahahahaha. eh, kok aku ketawa.
ah. aku sebenarnya hanya ingin menjadi individu yang pantas menyandang gelar “SAHABATMU”.
bukan aku yang harus mengerti jalan pikiranmu selama ini.
bukan aku yang membantu memikul bebanmu.
kamu tau kan?
aku ingin berhenti sebelum membuatmu muak.
aku tau aku tidak akan mampu bertahan saat kau berbalik pergi nanti.



Sunday, 11 April 2010 at 17:23

Selamat Senja :)

Kamu : Selamat senja.. :)

Saya : Selamat senja. Birunya mulai pudar, ada sedikit jingga yang malu-malu mulai muncul. Bersih. :)


Kamu : Mereka selalu bertemu di ujung barat.. sepanjang masa, sampai akhir peradaban.. damn!


Saya : Mereka berpisah di pagi hari. Menjalani realita, bernafas, bersosialisasi, menaungi Eropa, Afrika, Asia, Australia, Amerika, bahkan Antartika. Lalu mereka bertemu lagi di Barat. Bercerita sampai puas dan mereka bertukar cerita tentang kebahagiaan, sakit hati, kegagalan dan apapun yang mereka alami sehari tadi. Sampai senja tertidur manja di pundak matahari,


Kamu : Iya.. tapi kita tidak tau apa yang mereka lakukan ketika mendung bertautan menutupi gugusan indah mereka..


Saya : Tak apa kok. mendung itu hadiah dari matahari supaya setelah hujan turun, ia dapat memperlihatkan indahnya pelangi kepada senja.


Kamu : ya, mereka selalu berbagi :)

*kepada semburat jingga saat matahari turun ke peraduan. kepada bulir-bulir gerimis yang tumpah dari langit. kepada langit sore selepas hujan, kepada kamu, saya, dua orang yang bertemu ketika senja*

Melarikan Diri




teman.

aku mau makan.


lalu bersenang-senang.


kemudian terjun ke kolam.


dan berbasah-basahan.


dengan kalian.


sungguh.

Diluar Hujan

hitam menggulung-gulung


tak henti-henti,


tak putus-putus.


Langit sembunyi

marah-marah,


menangis-nangis,


dingin.


bising.

kapankah kita akan berdamai?









Rabu, 02 Februari 2011

Ngomong-Ngomong...

Ngomong-ngomong, aku ingin bekerja sebagai jurnalis, suatu saat nanti. Maksudku bukan jurnalis kampus seperti saat sekarang, tapi.. jurnalis yang bekerja di media berstandar nasional, di dunia kerja yang sebenarnya. Aku ingin jadi jurnalis. Yah, aku menyadari apa sebenarnya cita-citaku semenjak aku berkenalan dengan sebuah organisasi yang bergerak di bidang penerbitan berita di kampusku. Sebelum-sebelum itu aku sadar aku mempunyai hobi menulis. Namun, waktu itu aku tidak memikirkan tentang hidup di dunia jurnalistik. Aku ingin jurnalistik karena menurutku itu adalah pekerjaan yang akan sangat aku nikmati nanti. Aku sangat, tergila-gila, dengan dunia itu.

Beberapa saat kemudian setelah aku mengetahui bahwa inilah kemampuanku dan inilah cita-citaku yang sebenarnya, aku berusaha keras untuk menajamkan sikap kritisku terhadap apa yang sedang terjadi di dunia luar. Namun aku merasa, aku masih tidak mampu untuk berpikiran kritis. Maksudku, dibanding dengan teman-teman lain yang satu organisasi kampus denganku. Oh, atau bahkan dengan teman sekelasku. Aku masih jauh ketinggalan sikap kritis. Yah. Sikap itu memang sangat dibutuhkan oleh seorang jurnalis yang hebat. aku ingin bersikap kritis, dan aku sedang mencoba melakukannya.

Disamping hobi-hobi menulisku, cita-cita, dan segala upayaku untuk meraihnya, ternyata orangtuaku tidak ingin membiarkan aku mengambil langkah tersebut. Aku tidak tau apa yang salah dengan memilih jurnalis sebagai jalan hidup, tetapi beliau tetap menyarankan aku untuk berpikiran lebih dewasa, “Apa lagi ini adalah untuk pilihan hidupmu. Jalan hidupmu nanti,” ujar beliau. Jika ini jalan hidupku, seharusnya aku kan yang menentukan apa yang ingin aku pilih? Mereka tidak tau kemampuanku. Mereka tidak tau aku telah membuat berpuluh-puluh tulisan yang telah dibaca semua orang (anggap saja seluruh mahasiswa Universitas Andalas selalu membaca Genta, dan anggap saja semua orang membaca semua tulisanku yang ada di note facebook, serta di blog ini, tentunya), aku menjuarai lomba karya tulis, dan aku sangat hobi menulis. Mereka hanya ingin aku bekerja di kantoran, memakai baju seragam pegawai seperti yang dilakukan oleh anak-anak teman mereka. Hadooh.. aku ini bukan mereka, setiap manusia pasti punya perbedaan, right? Aku berbeda dengan mereka, begitu juga dengan kemampuan yang aku punya!

Lalu, kenapa mereka melarang aku untuk menjadi jurnalis? Menurut beliau, jurnalis itu pekerjaan yang tidak menghasilkan dan tidak untuk wanita. Lalu, apakah pekerjaan untuk wanita? Menjahitkah? Memasak? Just it?
Aku tidak munafik. Mustahil aku tidak berorientasi pada uang dalam menjalankan pekerjaanku nanti, tapi ada yang lebih daripada itu semua. Kenyamanan. Aku menginginkan adanya kenyamanan ketika aku bekerja nanti. Maksudku, percuma kalau nantinya aku mempunyai gaji yang besar tetapi dari diriku sendiri aku merasakan ketidaknyamanan dan bekerja secara terpaksa. Aku berpikir, jika aku mengerjakannya dengan hati, dan menikmati setiap tantangan yang akan dihadapi, sesuai dengan minat dan bakatku, tentunya, aku akan dapat tersenyum lebar meskipun gaji yang kudapatkan tidak besar. Hm. Mungkin beberapa tahun kemudian pendapatku akan berubah. Tapi inilah diriku yang sekarang.

Maksudku, kita tidak dapat memaksakan pilihan kita terhadap orang lain, ya kan?

Selasa, 01 Februari 2011

Pernah gak merasa seperti ini?

Ketika kamu ingin sekali dianggap spesial oleh orang yang kamu sayang, kamu gak ingin terlihat jelek sama sekali. Dan karena itu, kamu menjadi takut posisimu tergantikan; dan ini mengakibatkan rasa cemburu. Rasa cemburu itu membuat kinerja dan sikapmu menurun dari yang seharusnya, dan akibatnya, dirimu gak bisa menjadi kamu yang sebenarnya. Kamu gak menjadi dirimu yang terbaik karena terlalu repot memikirkan bagaimana tetap menjadi spesial di mata orang yang kamu sayang.

Sebaliknya, masih di dalam perasaan seperti itu, kamu berpikir bahwa kasih tak bersyarat itu gak ada. Kamu mempercayai adanya kasih yang bersyarat. Orang akan menghargai dan tetap menyayangimu ketika kamu baik dan sesuai dengan jalan yang ditentukan. Ketika perfeksionisme itu pecah, rasa sayang juga pecah. Jadi, untuk mengetahui bahwa kepercayaan ini benar, kamu melakukan hal yang sengaja salah; lalu merasa 'puas' ketika kenyataan kasih tak bersyarat itu terbukti salah.

Nah, di antaranya, kamu menjalin hubungan dengan pemikiran berdasarkan kompetisi dan rasa cemburu, bukan berdasarkan tujuan hubungan itu ada. Akibatnya, hubungan benar-benar terputus, dan rasa puas akan terbukti salahnya kasih tak bersyarat itu pun muncul.

Aku sedang ada dalam posisi ini. Dan ini melelahkan. Keyakinan yang harus diubah adalah mengenai kasih yang tak bersyarat. Kupikir, kasih tak bersyarat di dalam hubungan antar manusia itu gak mungkin. Kalau Tuhan, mungkin saja. Tapi, ini mungkin karena aku tak banyak mengerti soal kasih dan macam-macamnya. Mungkin perlu lebih banyak baca buku?

Sebenarnya, kasih tak bersyarat itu ada gak sih?

Aku skeptis terhadap banyak hal yang kulihat dan dengar, karena belum pernah kualami sendiri. Apa aku salah? Apakah ini karena gelembung perfeksionisme-ku, maka aku gak mentolerir kesalahan (bahkan yang dibuat oleh diri sendiri)? Apa karena aku hanya melihat ke dalam diriku sendiri tanpa melihat ke kotak pemikiran orang lain? Apa karena aku menutup hati terhadap kemungkinan kasih tak bersyarat itu hadir di hidupku?

Apa aku sedang membenarkan keyakinan diriku sendiri (lagi)?

Seorang teman berkata, jika perfeksionisme tak sehat ini berlanjut, aku akan susah memaafkan diriku akan (bahkan) kesalahan-kesalahan terkecilku. Yah, ini benar. Aku terlalu sering mendengarkan inner-critic daripada dukungan terhadap diri sendiri. Sebaliknya, di dalam sifat perfeksionisme ini, ada kompromi-kompromi dan pembenaran diri yang tinggi terhadap kesalahan yang (telah) diprediksi oleh diri sendiri.

Aku selalu berprinsip begini. Ketika aku dihadapkan pada sebuah kolam berisi manusia yang berenang, aku harus tahu dulu kedalaman kolam, suhu air, dan risiko apa saja yang kemungkinan akan kuhadapi sebelum aku mencelup ujung jempol kakiku di air kolam tersebut.

Tapi di dalam prinsip yang sama, aku akan memastikan ketika aku masuk di dalam kolam itu, akan ada tangga untuk keluar kapan saja aku mau. Ketika aku merasa terlalu dingin, atau kolam menjadi membosankan, aku akan keluar karena rasa enggan atau alasan yang kubuat sendiri. Bahkan sebelum aku benar-benar menguasai sebuah gaya renang.

Ini terjadi bukan hanya sekali. Bukan hanya dalam satu hubungan. Bukan hanya satu kasus.

Apakah ini masalah komitmen? Apakah ini mengenai dorongan (atau tendangan)? Apakah aku terlalu lembek (atau terlalu keras) terhadap diriku sendiri? Apa yang menjadi akarnya? Apakah rasa takut? Sikap skeptis dan prediksi yang cenderung negatif? Kesenangan sementara dan rasa takut mengambil langkah lebih jauh?
Kalau aku berkata mau berubah, apakah aku akan cukup percaya bahwa ada orang yang tetap menyayangiku bahkan ketika progres perubahanku begitu lambat? Atau aku akan ditendang seperti prediksi skeptisku selama ini?

Aku terlalu banyak berpikir. Mungkin.

Yah, kalau kau mengerti, bagaimana menurutmu?

nb: Bagaimana meyakinkan diriku sendiri bahwa gak semua orang berpikir seperti aku berpikir?


*hanya sebuah catatan labil :)

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails