Kamis, 26 September 2013

Laras: Deodorant dan Pembalut

Masa muda Laras tak begitu secerah dirinya yang sekarang. Namun begitu, tetap tidak mengurangi rasa tertarikku untuk mengetahui setiap masa yang pernah ia lalui. Laras yang dulu penuh dengan masa-masa dimana ia ingin selalu dianggap dan dihargai. Tak ada hari tanpa ingin dipuja dan dipuji. Tak ada hari tanpa tak ingin dibenci dan menolak penolakan. Angkuh. Egois. Karakter Laras yang sangat aku kenal dan aku pahami.

Laras benci hari Sabtu. Bukan karena dia tidak punya cinta yang bisa dinikmati ketika malam datang. Bukan karena phobia atau apa, dan, sejujurnya, bukan karena hari Sabtu. Tapi, karena hari tersebut hari Sabtu, makanya ia benci. Di hari Sabtu sudah umum dan biasa bahwa anak-anak sekolah memakai baju pramuka. Dan itulah yang dibenci Laras. Baju pramuka. Bukan karena kurang modis, bukan juga karena Laras tak suka warna cokelat. Baju pramuka, membuat keringatnya terlihat jelas. 

Laras benci hari Sabtu, terlebih ketika ia menginjak sekolah menengah atas. Di sekolah menengah pertama, Laras tak mengacuhkan keringatnya. Mungkin, karena belum tau apa arti dari kalimat "menarik perhatian lawan jenis", atau kalimat "selalu terlihat menarik dan sempurna". Dan Laras tersadar akan hal itu, ketika ia masuk ke gerbang sekolah menengah atas. Sebuah tempat dimana nafsunya pertama kali ia buncahkan tanpa henti. Tempat tak terkendali. Dan saat itulah, Laras mulai khawatir dengan keringat.

Hiperhidrosis. Laras punya keringat berlebih dalam dirinya. Penyakit ini mengutuk seseorang menjadi selalu basah di tempat-tempat tertentu seperti telapak tangan, leher, ketiak, dan lipatan-lipatan tubuh lain. Naas bagi Laras, ia dikutuk di bagian ketiak. Dan laras malu akan hal itu, meskipun tidak bau. Menurutku, ia selalu wangi. Dan dia terlalu memikirkan daerah lembab di sekitar ketiaknya tersebut. Malu, karena jika orang lain melihat hal tersebut, Laras berpikir orang lain akan menjauh. Laras pun sepertinya paham betul bahwa hal tersebut akan mengurangi citra dirinya yang selalu mempesona. Laras pun sepertinya paham betul harinya akan rusak di hari Sabtu. Itu semua, pun juga karena Laras paham betul, orang-orang lebih cenderung melihat daripada memahami. 

Laras benci hari Sabtu. Dan pada Jumat malam, Laras stress dan depresi. Ia memukul-mukul ketiaknya sekuat tenaga. Mungkin ia berpikir, keringatnya tidak akan keluar lagi pada pagi harinya. Menurutku, ia sadar dan paham betul, bahwa memukul-mukul ketiak tidak berhubungan dengan tidak berkeringat lagi. Karena itulah kubilang Laras stress setiap Jumat malam. Sabtu paginya, Laras mengoleskan banyak sekali deodorant, berharap ketiaknya bisa tetap kering sekering pagi ini. Letih hati, letih mental, itulah hari di hari Sabtu Laras. Sampai akhirnya Laras menemui batas muak dan bencinya. Benci pada ketiak. 

Sabtu pagi di minggu berikutnya, Laras menggenggam gunting, dan kemudian mengangkat sebelah ketiaknya. Bulu ketiak Laras masih halus. Belum bisa digunting. Maka gunting tersebut Laras gunakan untuk menusuk-nusuk ketiaknya. Ke kedua ketiaknya. Hingga ketiak Laras berkeringat merah. Banyak sekali.

Sehingga, pada hari itu, Laras menemui hari Sabtu indahnya yang pertama. Ajaib, ketiaknya kering! Katanya padaku, ia berterima kasih pada sebuah benda. Bukan, bukan deodorant. Bukan juga pada gunting. Pembalut.

Selasa, 24 September 2013

Laras: Pigura

Sekarang hujan, pada malam di hari kedua kemarau. Walaupun dia ingin, aku yakin Laras tidak akan mengunjungiku pada saat ini karena ia tak suka kebasahan. Ia bukan tipe orang yang akan repot-repot menerobos hujan hanya demi makhluk sepertiku. Sulit membayangkan sosok Laras akan datang menemuiku di saat-saat begini, bahkan walaupun dengan ia menggunakan payung! Jika benar saat ini dia datang, maka pastilah untuk hal yang sangat penting baginya, dan, lagi-lagi, yang menguntungkan baginya. Namun begitu, aku juga pasti akan bahagia karena ia mau datang! 

Dan kemudian, aku memandangi Laras. Melihat senyumnya itu, hatiku merasa terbebas. Terasa jauh lebih ringan, terasa jauh lebih luas, terasa jauh lebih bebas. Bebas. Namun tetap di dalam kebodohan. Melihat raut wajahnya itu, akankah ia akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kelak? Akankah ia menemukan sosok yang membuatnya serasa bebas dalam kebodohan seperti yang aku rasakan sekarang? Akankah ia bahagia nanti dengan sosok itu? Sungguh, ketika kau denganku nanti, Laras, aku bahagiakan dirimu! Klise? Maka buktikanlah sendiri dengan tetap berada di dekatku! Akan kubahagiakan iblis tamak sepertimu ini, Laras.

Rasa ini sudah terlalu lama tak berbalas. Kau pasti tak kan tau, betapa sulit dan bahagianya menahan ini sendirian. Kau pasti tak kan tau, selagi kau sibuk beroportunis ria, ada seseorang yang akan rela dikacungi olehmu. Dengan rasa ikhlas, bahagia, dan... cinta? Cuih. Tapi itu memang nyata. Sungguh, saat aku berkata seperti ini pun, kau tetap tersenyum di depanku, Laras? Dasar kau monster! Setidaknya pasanglah sedikit wajah kasihan dan iba padaku, walau kau sedang berpura-pura!

Dan... Laras iblis.. kau tau, kau sangat manis dengan senyummu itu. Apakah gerangan yang akan membuatmu menangis? Apakah kira-kira yang akan membuat guratan-guratan wajahmu itu membentuk sebuah ekspresi yang bukan sebuah senyuman? Apakah yang bisa mengusir senyum itu dari wajahmu? Beritahu aku, dan aku akan menghilangkan senyum dari wajahmu, sekali saja. Agar kau marah padaku. Agar kau merajuk. Agar kau selalu ingat denganku. Lihat aku, Laras. Bahkan saat ini akupun ingin hadir dalam ingatanmu, walaupun dalam kenangan terburukmu. 

Dan, aku suka senyummu.

Tak henti-hentinya aku memandangimu malam ini, Laras. Walaupun malam ini kau hanyalah Laras yang hidup di dalam bingkai. Aku cukup bahagia.

Senin, 23 September 2013

Laras: Manusia Bodoh

Laras tak lagi datang malam ini. Padahal aku menunggunya sejaman lebih, namun tak kunjung juga ia menunjukkan wajahnya kepadaku. Entah apa yang terjadi akhir-akhir ini, entah apa yang sedang ia lakukan, aku tak tau. Aku hanya terus menunggunya.

Dia itu wanita yang tak tau apa-apa, tak menarik, tak dewasa, selalu putus asa, meragu, dan segala macam sifat negatifnya yang kutahu mungkin menutupi semua kelebihan yang ada pada dirinya. Namun, entah mengapa, aku menunggunya, lagi dan lagi, seakan-akan buta. Entah apa yang membuat aku berkeras hati menunggunya, aku tak tau. Aku hanya terus menunggunya.

Mungkin, aku yang terlalu keras kepala. Mungkin juga, aku yang bodoh. Dan mungkin juga, aku yang terlalu lugu.

Laras. Aku tau siapa dia. Dia itu monster. Aku sadar betul betapa iblisnya dia. Dia yang tak peduli bagaimana aku, dia yang selalu membuat aku melambung kemudian terhempas sampai mati rasa. Dia yang kejam dan brutal terhadap perasaanku. Sungguh, aku ingin berlari darinya. Namun, ada satu bagian dalam diriku yang membuat aku terus bertahan. Bertahan untuk disakiti, lagi. Dan herannya, tak kunjung jua ku temukan batas muakku.

Manusia bodoh. Aku tak percaya ada manusia bodoh di atas dunia ini. Manusia bodoh hanya ungkapan yang diberikan oleh orang-orang yang merasa orang lain bodoh. Ungkapan yang berasal dari orang lain. Sungguh aku tidak peduli bagaimana ungkapan dari orang lain sedikitpun. Namun, jika ada orang yang menganggap dirinya sendiri bodoh, maka dia hanya sekedar hilang akal, tidak tau lagi apa yang harus dilakukannya, dan untuk memuaskan otak karena tak tau jawaban dari 'apakah yang menyebabkan semua permasalahan ini terjadi?' dan kemudian mereka menjudge mereka sendiri bodoh. Intinya, ungkapan 'aku ini manusia bodoh' hanya ungkapan sementara. Hanya sebuah kamuflase. Sebuah mekanisme pertahanan diri.

Dan iya, saat aku tidak berada di dekat Laras, dan saat-saat aku menunggunya inilah otakku berkata bahwa aku manusia bodoh. Dan, aku sadar betul aku tidak bodoh. Kau tau, ini hanya kamuflase saja. Aku hanya belum menemukan jawaban yang sebenarnya tentang mengapa aku terus menunggunya. Kenapa aku selalu menaruh harapan besar pada iblis seperti dia. Kenapa aku selalu tergantung pada monster yang akan menggerogoti tubuh dan jiwaku dari dalam, dan mungkin akan terus begitu sampai aku lumpuh. Aku hanya terus menunggunya. Itu saja yang aku lakukan. Dan itu bodoh menurutku. Untuk saat ini.

Bercerita tentang Laras bagiku tak akan ada habisnya. Dia tak peduli sedikitpun tentang orang lain. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia akan melakukan apapun dengan siapapun. Selagi itu menguntungkan dan menyenangkan baginya, maka ia akan terus menerus berbuat seperti itu, sampai bosan, dan setelah bosan, maka ia akan kembali mencari rutinitas baru dengan seseorang yang baru, yang menguntungkan dan menyenangkan baginya. Dan dia, selalu mendapatkan sesuatu dan seseorang itu. Seakan-akan tuhan tidak menyiapkan sebuah karma baginya. Seakan-akan tingkahnya seperti itu dihalalkan di muka bumi.

Dan tentunya, tidak seorangpun yang akan merasa kalau Laras akan memanfaatkan dirinya sendiri karena Laras sangat pandai memainkan perannya. Laras bermain dengan sangat halus sehingga tak seorangpun yang akan sadar telah dimanfaatkan. Laras akan menutupi kebohongan yang satu dengan yang lainnya demi perannya tersebut. Dia, aktor antagonis dunia nyata yang tak kan terkalahkan. Aku belum menemukan orang yang bisa menyaingi kemampuan akting Laras. Dan hei! aku sadar aku dipermainkan. Tapi otakku untuk sementara ini bilang, aku ini manusia bodoh. Itu saja untuk kali ini.

Selasa, 10 September 2013

Runaway

You runaway from me And it’s too late to make you turn back now and it’s too late to fix everything and it’s too late for us You runaway from me take all the love you have take all the endearment take away your pain I let you walk in the darkness night i let you glowing by moonlight I let you get away from the sun And let me keep your reflection And let me keep your reflection I know you're sick and tired But there's nothing I can do Because i’m in pain too much Because i made a mess Because all of these uncontrollable And I let you run from me And I’ll save you from myself

Jumat, 06 September 2013

Sebuah Cerita yang Tidak Selesai

Selalu ada harapan di cerita yang tidak selesai. Harapan untuk menulisnya kembali, harapan untuk mengetahui bagaimana hasilnya nanti, harapan untuk selalu bisa membacanya nanti, sebagai tulisan yang utuh, yang layak baca, yang selesai. Namun, di cerita yang tidak selesai, selalu ada hambatan, rintangan, dan kendala untuk melanjutkan tulisan tersebut. Walaupun asa dan harapan selalu membuncah, namun di cerita tersebut, rintangan lebih besar dari segalanya. Sehingga, yang ada hanya cerita yang tidak tidak utuh, tidak layak baca, tidak selesai. Seluruh alur berhenti di tengah-tengah. Seluruh tokoh bahkan tidak mengalami perubahan atas dampak dari sebuah akhir cerita. 

Dan tahukah kamu, bahwa sebuah cerita yang tidak selesai, juga merupakan cerita yang selesai?

Tidak ada yang tidak selesai.

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails