Senin, 23 April 2012

What a Snake !

Hari ini emang jadi ular seharian. Dari tadi kerjaan cuman tidur-tiduran, sms sambil tiduran, bikin revisi proposal bab 1, ngetik, plus buka-buka buku sambil tiduran, buka facebook sambil tiduran, semuanya tiduran. tiba-tiba mataku tertuju pada sims social yang udah lama gak dimaenin sampai notifnya ada 36, terpengaruh, dan aku main, lagi-lagi sambil tiduran. Mungkin soundtrack hari ini cocoknya lagu "Lazy's Song" nya Bruno Mars, atau mungkin "Seperti Ular Seperti Ular" nya Hello Band. Entah kenapa hari ini bawaannya malas terus, walaupun paginya aku sempat bersihin rumah, cuci piring, sama cuci baju sih :p Badanku juga cekit cekit gara-gara kemaren diajak joging sama si kece, ukh ketahuan deh jarang olahraga. 

Rencananya kemaren aku mau pergi nyari data tambahan ke Kantor Dinas Pendidikan Kota Padang, tapi tiba-tiba otakku munculin ide yang sangat brilian dan menemukan alasan malas yang mutakhir sehingga diri sendiri pun jadi tidak ragu untuk bermalas-malasan, yaitu "ada baiknya sebelum cari data, latar belakangnya perlu difokuskan lagi seperti yang dibilang Eka sama Oja, setelah itu, baru cari data tambahan. Biar jelas ntar, kita mau nambah data apa..." ting ting ting!
Aku juga belum mandi dari pagi, hahaha.. Duh, entah kenapa diri ini seperti ini hari ini. Kenapa jadi banyak ininya, entahlah aku gak peduli ini.
Udah ah, mandi dulu. Mudah-mudahan besok jadi hari yang lebih baik dari hari ini.

Sabtu, 21 April 2012

Cupu-Cupu Kelabu


Tiba-tiba jadi teringat masa-masa jaya kecupuan pas SMP dulu. Maksud saya, benar-benar cupu, baik itu di pakaian saya, atau hubungan saya dengan teman-teman. Saya bersekolah di Semen Padang, dari TK sampai SMP. Sebuah sekolah swasta dekat rumah. Pulang sekolah berjalan kaki melewati komplek perumahan bersama teman-teman. Sebuah lingkungan yang berkabut (karena asap pabrik semen padang) ditambah dengan nuansa abu-abu mendominasi lingkungan tersebut. Apalagi banyaknya beredar isu-isu dan kisah mistik dari teman, bikin tambah misterius. Pada siang hari rumah-rumah juga kosong karena pada umumnya penghuni rumah adalah karyawan  yang bekerja full dari pagi sampai sore. Jadi, untuk para pencuri saya umumkan, lokasi ini sangat mantap untuk beroperasi.
Masa-masa cupu memang sangat melekat di jati diri saya yang santun dan ramah serta welas asih ini. Gak heran kalau saya jadi kurang gaul, ketika cewek-cewek lain punya geng masing-masing. Emang, yang punya geng rata-rata cewek cewek gaul, yang cantik, yang populer, yang supel dan disukai banyak cowok-cowok. Entah kenapa waktu itu saya merasa, cewek-cewek yang punya geng, lebih mendapat respek dari lingkungannya. Pada jam keluar main, mereka pasti membentuk gerombolan, dan langsung heboh-heboh. Geng nya pun macam-macam. Ada yang karena pas kelas 1 mereka sekelas, ada yang karena mereka milih cewek yang manis-manis, dan bahkan geng bisa terbentuk karena sering ketemu di bus kota karena arah jalan pulang yang sama.
Saya akui, memang gaya berpakaian di kala SMP dulu sangatlah cupu. Dimulai dari rambut yang dari kelas 1 selalu, SELALU, selalu dikuncir, serta poni dijepit kebelakang. Sungguh rapi, kaku, dan tidak cocok jadi bintang iklan shampo yang rambutnya selalu terurai ditiup angin. Kemudian baju yang rapi, dimasukkan semua ke dalam rok, dan kancing baju yang dipasang sampai atas. Diwaktu SD saya diwajibkan memakai dasi, makanya ketika SMP jadi canggung ketika kancing bagian atas tidak dipasang karena di SMP tidak diwajibkan memakai dasi.
Lanjut ke rok. Ketika cewek-cewek lagi marak-maraknya pakai rok diatas lutut, justru saya lebih nyaman memakai rok yang panjangnya hampir di pertengahan betis. Belum lagi kaus kaki yang juga panjangnya juga sampai setengah betis. Gara-gara itu saya sempat jadi bintang iklan kaus kaki. -_- Waktu itu saya berbaris di bagian paling depan pada saat berbaris sebelum masuk kelas. Karena melihat penampilan kaus kaki saya yang sangat-sangat memenuhi kriteria berpakaian, saya disuruh maju ke depan oleh Pak Irwan, guru saya yang waktu itu menertibkan barisan. “Coba liat kaus kaki saudara kalian ini, ini yang benar-benar mentaati peraturan berpakaian,” ujarnya. Sompreeeeetttt.... sumpah, malu banget waktu itu. Maluuuuuuu banget. Saya ngerasa ada yang bilang “huuuuuu” dari barisan belakang. Tapi mungkin itu hanya halusinasi saya saja.
Walaupun saya tidak pakai geng-geng an dan saya cupu, bukan berarti saya dianggap remeh dan jadi pecundang. Hm, dalam pergaulan mungkin saya memang looser, tapi saya salah seorang siswa yang PR atau tugasnya diharapkan di kelas. Nyaaaahahahahahaaa... Tapi jadi seleb pas ada tugas itu pun Cuma sebentar. Ketika tugas saya selesai disalin, saya langsung jadi orang pinggiran. :p Seperticontoh, ketika kelas 3, waktu itu teman dekat saya bernama Shinta. Dia cewek manis, supel, pokoknya disenangi teman-teman lah... ketika di sela-sela pergantian jam pelajaran, saya, shinta, dan seorang teman yang duduk di belakang saya, givent, sedang memperdebatkan mana yang lebih bagus antara Sheila on 7 dengan Peterpan. Saya mendukung So7 dengan alasan “entah kenapa”. Sedangkan Shinta berpendapat, Peterpan lebih bagus, -diiyakan oleh Givent-. “Iya, peterpan emang paling bagus deh...,” tutur Givent.
Kebetulan seminggu sebelumnya, ketika Ariel masih belum binal, Peterpan ngadain konser di Padang. Sebagai fans fanatik peterpan, Shinta berkoar-koar mengenai kekerenan Ariel pas lagi nyanyi.
“Ih gila keren banget, kemaren tuh si Ariel sempat buka baju dan bajunya dilempar ke penonton, aku mauuuu....,” shinta berkata antusias. Saya pun juga ikut-ikutan berbinar-binar, bagaimana rasanya dikasih baju sama Duta So7.
Kemudian Givent ikutan ngomong, “Pasti bau hahaha...,” ujarnya.
Mendengar itu saya bilang, “Biarin aja bau, kan bisa dicuci... ya kan shin?”
Tapi Shinta malah jawab, “Ya elah... justru yang ada keringet aslinya itu yang jadi spesiaaal... kalau dicuci lagi, sama aja kayak baju biasa...”.
“Iya, jadi gak biasa kalau gak dicuci...” si akhirnya mendukung Shinta.
f(-_-) wtf~~
jadi artis, emang sampai keringatpun orang-orang suka.

Senin, 02 April 2012

Seperti Lolos Audisi

       Rasanya baru dapat pembimbing untuk proposal itu... kayak habis lolos audisi Indonesian Idol. Hari itu, Selasa, dengan semangat tinggi menggebu-gebu dan menggenggam dua bundel proposal di tangan (yang satu kopian tentunya, gak mungkin saya membuat proposal mengingat membuat satu proposal saja bikin saya hampir kurus dan saya pun hanya manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas), dengan tekad bulat dan harapan akan diterimanya proposal ini oleh jurusan, saya melangkah masuk ke Fakultas ISIP. Oh god, hati ini sunggup berdegub kencang seperti genderang mau perang, tapi itu kan lirik lagunya ahmad dhani yang katanya masuk aliran iluminati, saya langsung istighfar.
       Ketika masuk, saya mendapati teman-teman saya tengah berkumpul, dan melihat saya menjinjing sebuah proposal, teman-teman saya langsung memberikan support dan semangat, dan tidak lupa pula serangkaian doa menyertai langkah menuju ruangan sekretaris jurusan. Layaknya seseorang yang akan masuk ruang audisi yang di dalamnya sudah duduk ahmad dhani, agnes monica, dan anang yang menjalin hubungan dengan seorang artis pendatang baru ashanti. Sungguh gak kebayang deh gimana perasaannya aurel ketika mendapati ibunya kawin dengan pengusaha bertampang bar-bar asal timor timor dan hamil di luar nikah dan melahirkan kemudian mendapatkan adik tiri bernama amora, sementara ayahnya depresi dan membuat lagu-lagu sendu sebagai bentuk sindiran terhadap mantan istri sembari bergonta-ganti menjalin hubungan dengan penyanyi lain. Sungguh dramatik kisah hidup aurel.
       “Eji, semoga sukses ya,” ujar teman-teman.
       Kemudian saya masuk ruang audisi, dan menyerahkan proposal saya kepada buk desna. Wajah bu desna yang cantik perlahan menetralisir rasa ketakutan saya. Dan setelah itu.. yah.. menunggu proposal diterima atau tidak. Saya meninggalkan ruangan dengan perasaan lega. Lega, setidaknya saya sudah ada jawaban atas pertanyaan seorang teman yang mungkin suatu saat akan dilontarkan jika hal buruk terjadi misalnya proposal saya ditolak, seperti,
       “Hai ji, gimana TA lo guys? Lancar aja kan? Gua bentar lagi seminar proposal gitu loh,” ternyata teman saya gaul.
        Dan saya telah punya jawaban, “Hm, gue sih udah pernah ngasih proposal ke jurusan, tapi ya gitu deh, karena pemikiran gue yang kreatif bbbbanget, dosennya gak ngerti sama yang gue buat. Ditolak. Gue miris liat pendidikan di Indonesia jaman sekarang. Gak habis pikir gue.. sekarang lagi buat yang baru. Gue berusaha untuk gak kreatif kali ini”.
       Nice.
       Setelah menunggu beberapa menit di sekretariat Pers Genta, tiba-tiba ada teman yang SMSin saya, si Tika dan bilang kalo Bu Desna pengen saya ada di ruangan dia saat itu juga. Sontak saya kaget dan langsung melaju ke jurusan. Sesampainya di jurusan, saya yang deg degan langsung masuk ke ruangan bu desna dengan bermacam ragam pemikiran. Apakah saya lolos audisi Indonesian Idol atau tidak. Tiba-tiba bu desna membalikkan badan dan menyerahkan proposal saya yang sudah bertuliskan nama pembimbing. Oh god Bu desna kayak bilang “Selamat, kamu berhak ke Jakarta!!!” rasanya pengen sujud syukur. Dengan mata berkaca-kaca saya mengucapkan terima kasih kepada ibuk cantik.
       Hm, rasa lega yang saya rasakan beserta seluruh finalis Indonesian Idol mungkin Cuma sementara. Lega, karena akhirnya langkah awal sudah terjajaki dengan baik. Dan akhirnya setelah merasa “Lega” tersebut, barulah terpikirkan bahwa masih banyaaaaaaaak jalan yang harus ditempuh. Ini baru langkah awal. 

Minggu, 01 April 2012

I'm The Only Child

       Mungkin mereka yang punya banyak sodara bilang anak tunggal menyenangkan, diperlakukan kayak putri dan anak raja, semua yang diinginkan selalu ada, hari-hari selalu menyenangkan. Mereka pikir anak tunggal memiliki ego yang besar karena merasa apa yang diinginkan selalu terkabulkan, kepada siapapun mereka meminta. Mereka pikir anak tunggal adalah anak yang cengeng, manja dan tidak bisa apa-apa. Namun mereka salah. Salah besar.
       Saya sudah 21 tahun menjalani hidup sebagai anak tunggal. Seluruh kasih sayang tercurahkan pada saya, memang sangat menyenangkan. Sangat menyenangkan. Saya bersyukur untuk itu. Tapi, di samping sisi kehidupan saya yang sangat menyenangkan tersebut, ada satu sisi dimana saya merasa sungguh-sungguh sendirian –walaupun saya punya banyak teman. Saya pikir, saya sendiri yang menyebabkan mengapa saya merasa sendiri. Saya introvert.
       Saya sangat-sangat membenci bagian dari diri saya yang introvert. Tidak seharusnya saya memikul tantangan –jika kata beban menjadikan saya berimage mudah mengeluh- ini sendirian. Tentu saya juga tidak mau membagi-bagi beban kepada orang lain, tapi setidaknya dengan bercerita, “katanya” bisa mengurangi beban.
       Mengapa disaat teman-teman begitu percaya kepada saya bercerita tentang segala hal, mulai dari hubungannya dengan pacarnya, sampai ke kehidupan rumah tangganya, saya justru harus berpikir ratusan kali, apakah saya akan menceritakan apa yang saya alami dan apa yang tengah saya hadapi kepada teman dekat saya sendiri. Pun begitu juga kepada kedua orang tua saya, jarang sekali saya mampu bercerita tentang apa yang terjadi.
       Jika saya ada waktu, pasti saya akan mendengarkan setiap orang yang ingin bercerita kepada saya. Kapanpun mereka mau, saya selalu berusaha ada ketika mereka minta didengar. Namun, ketika saya ingin bercerita, mengapa saya hanya bisa menelan bulat-bulat apa yang ingin saya bicarakan? Dan disisi lain pun saya juga merasa, mereka yang akan mendengarkan ceritaku akan berpikir, “Untuk apa gunanya saya mendengarkan dia? Toh tidak ada berarti apa-apa untuk saya”. Dan akhirnya saya hanya bisa menelan kata-kata yang sudah tersangkut di kerongkongan dan memaksa untuk kembali memasukkannya ke hati. Dan karena hati menjadi nyeri karena tidak mampu lagi menampung sampah-sampah yang tidak jadi dikeluarkan, maka tubuh saya akan mengeluarkannya berupa air mata.
Entah kenapa saya merasa menjadi anak tunggal adalah hal yang sangat menyedihkan. Ketika teman-teman saya yang mempunyai saudara bisa melakukan hal-hal yang mereka inginkan, seperti mau menjadi apa saat besar nanti, ingin mencoba hal-hal baru, berjalan dengan jalan yang dipilih sendiri, saya justru memiliki beratus-ratus pertimbangan ketika ingin melangkahkan kaki satu langkah saja. Selalu gamang. Saya harus mempertimbangkan bahwa saya adalah anak tunggal, saya harus berhasil di kehidupan karena saya satu-satunya harapan mereka. Jika saya gagal, maka sama saja saya membawa mereka turut serta menuju kegagalan. Bandingkan dengan teman saya yang punya seorang saudara, harapan tersebut bisa mereka emban berdua. Dikala saatnya kita dewasa pun juga, orang-orang yang bersaudara mempunyai teman untuk saling berdiskusi, saling meminta saran dan saling menjaga. Anak tunggal? Lagi-lagi harus bisa berdiskusi dengan diri sendiri, mengambil keputusan sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan menikmati hal-hal lain sendirian. Kecuali anak tunggal yang ekstrovert.
Saya sangat membenci jika ada orang yang memandang saya manja hanya karena mengetahui saya anak tunggal. Biasanya mereka yang memandang saya seperti itu hanyalah orang-orang yang mengenal saya setengah-setengah.
       Semoga Tuhan memaafkan saya yang tidak tau diuntung ini. Tapi tidak bisa dipungkiri, memang begitulah rasanya jadi anak tunggal. Namun bagaimanapun juga saya bersyukur.
Terkadang saya sangat merindukan sosok saudara, yang bisa membantu saya untuk menjinjing beban ini bersama-sama. Tapi Tuhan memberikan seorang anak tunggal kepada ibu dan ayah saya, itu berarti mungkin saya mampu menahan ini sendirian. Ataupun juga bisa berarti, Tuhan mau saya tidak buta melihat orang-orang terdekat, yang mungkin juga selalu ada untuk saya.

Yah, semua ada plus minusnya. Karena sempurna, selalu dinilai berlebihan.

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails