Setan besar pelahir hedonisme itu bernama globalisasi. Ia telah lama datang dalam kehidupan manusia. Bahkan, setan itu telah mampu melahirkan suatu ketimpangan tujuan hidup yang ditunjukkan melalui kebobrokan moral dan sikap serta tingkah laku orang banyak. Semakin terbukanya akses budaya yang dibangun oleh kapitalisme, maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap hasrat dan gaya hidup seseorang, termasuk mahasiswa.
Mahasiswa, dengan kondisi jiwa yang sensitif dan masih sibuk mencari-cari jati diri, telah lama menjadi sasaran empuk yang menjanjikan bagi para elit ekonomi kapitalis. Pada saat sekarang, dimana mahasiswa selalu mengikuti tren pasar, dapat kita lihat bahwa sejatinya mahasiswa telah diperbudak dan dijadikan mesin penghasil uang bagi pasar. Sudah sering sekali juga kita jumpai tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik, pub, cafe, dan kemungkinan tempat-tempat prostitusi. Narkotika dan obat-obatan terlarang juga tak luput juga dari sebuah fenomena mahasiswa kini. Tak pelak, dari kesenangan serta keindahan dunia yang ditawarkan tersebut telah melahirkan suatu penyakit baru pada mahasiswa, yaitu hedonisme.
Hedonisme mempunyai makna sebagai perasaan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar yang ada di luar komunitas mereka. Pencetus paham hedonisme adalah Filsuf Epicurus (341-270 SM), yang berpendapat bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan paling utama dalam hidup. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang memberikan ketenangan batin. Kalau manusia mempunyai ketenangan batin, maka manusia mencapai tujuan hidupnya. Menurut filsuf Aristipus of Cyrine (435-366 SM), kesenangan merupakan rasa dari watak yang lemah lembut dan merupakan tujuan yang sebenarnya dari kehidupan. Kesenangan dikendalikan oleh akal, namun melalui usaha “rasionalisasi” keadaan yang didasarkan atas upaya penyesuaian antara keinginan sebagai tujuan dengan penyesuaian melalui pendekatan moral/etika terhadap nilai-nilai sosial dan spiritual.
Masalahnya adalah, banyak orang-orang, termasuk mahasiswa yang terjebak di dalam budaya hedonisme tersebut dan menjadikannya gaya hidup. Mahasiswa sekarang lebih suka turun ke “mal-mal” yang penuh dengan budaya glamor dan lebih senang “berkeringat” disana daripada “berkeringat” dijalanan yang notabene tempat “perjuangan” para mahasiswa. Budaya hedonisme, benar-benar sukses melekat di tubuh mahasiswa.
Mahasiswa agaknya berperan sebagai agen of change. Sejatinya peran mahasiswa yaitu membangun generasi yang bermoral, mempunyai solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh, mengembangkan kemampuan diri meraih masa depan yang cerah, serta sebagai pengkritik dan penegak kebenaran bagi kebijakan pemerintah yang tidak mendengar suara rakyat. Di “Soe Hok Gie-Catatan Seorang Demonstran”, telah dipaparkan bahwa, mahasiswa pada saat dulu bergerak sebagai pengontrol lahirnya sebuah kebijakan, dimana melalui sikap kritis mereka mampu untuk membongkar amoralitas para penguasa, dan mampu untuk mengampu suara-suara yang tidak terdengar oleh orang kalangan atas. Mahasiswa digambarkan tidak hanya sibuk dengan tujuan utama mereka berkuliah yaitu belajar, memikirkan nilai, dan mempersiapkan diri ketika ujian, tetapi mereka juga ikut serta dalam pergeliatan organisasi, bersuara dan bertindak. Dari situ kita bisa berkaca pada diri kita masing-masing, apakah kita, sebagai mahasiswa, sudah melanjutkan apa yang dilakukan oleh mahasiswa dulu?
Dibandingkan zaman dahulu, keadaan saat ini yang serba praktis dan efisien, membuat mahasiswa menjadi malas dan terlena akan keserba praktisannya itu. Sejarah telah membuktikan bahwa pelajar Indonesia adalah pelajar yang kritis dan peka terhadap perubahan lingkungan. Mulai dari jaman penjajahan Belanda, seperti sekolah Valksschool, Vervolgschool, Sekolah Kelas Satu, yang telah melahirkan golongan terpelajar dengan hati dan mata terbuka melihat kepincangan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda selama ini di Indonesia. Tak sampai disitu, mereka juga membangun sekolah-sekolah untuk masyarakat pribumi, seperti Bumi Putra dan Taman Siswa. Pergerakannya pun tak tanggung-tanggung, mulai dari Budi Utomo sampai Tragedi Mei ’98. Soe Hok Gie juga mengatakan “Lebih baik mati daripada menyerah pada kemunafikan” (Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran).
Sekarang mahasiswa agaknya seperti menjauh dari hakikatnya. Menjamurnya unit kegiatan mahasiswa dan fakultas tidak menjamin membangkitkan gairah mahasiswa untuk lebih bergiat di habitatnya sendiri. Mahasiswa lebih suka menggandrungi tempat-tempat berbau hura-hura seperti bioskop, mall, dan konser musik rock, yang menyuguhkan hingar bingar dunia massa sebagai produk kapitalis. Mahasiswa juga mau tak mau harus mengikuti pasar agar tidak dicap kolot dan ketinggalan zaman. Suatu konsep budaya yang menawarkan hidup indah daripada kenyataannya, yang membungkam mahasiswa dari sikap idealis yang seharusnya mereka miliki. Mahasiswa sekarang, telah ditelan bulat-bulat oleh budaya hedonisme. Ditambah lagi dengan tidak adanya filterisasi yang kuat dan penanaman moral, agama dan nilai-nilai sosial yang kuat, yang akan semakin mempurukkan mahasiswa jauh kedalam keindahan semu.
Akibat budaya hedonis tersebut, mahasiswa jauh dari budaya berpikir kritis, bahkan mereka menjadi alergi dan antipati dalam merespons segala persoalan yang kini menggerogoti bangsa Indonesia. Selain itu virus budaya hedonis juga mengakibatkan pola pikir mahasiswa menjadi cenderung lebih pragmatis dan acuh tak acuh, dan semakin menjauhkan mahasiswa dari objek sasarannya, yaitu masyarakat. Ujung-ujungnya jelas, perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat tidak dapat terwujud secara maksimal. Mahasiswa pun juga tak mampu lagi berdiri pada baris terdepan untuk menyatakan sikap, karena idealisme telah terbeli oleh manisnya kehidupan hedonis.
Apa mungkin “jenis” mahasiswa era kemerdekaan memang sudah punah? Apakah tidak ada setitik pun semangat pelajar dahulu yang diwarisi kepada mahasiswa saat ini?
Sesungguhnya sikap hedonis ini dapat dihindari jika mahasiswa tersebut mau mengontrol diri untuk mengurangi kemungkinan terjebak pada perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Kontrol diri menjadikan diri individu mahasiswa sebagai agen utama dalam membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi yang positif. Semakin baik kontrol dari seseorang akan semakin mampu ia mengendalikan dorongan dalam dirinya sehingga perilakunya menjadi terarah.
Sudah saatnya mahasiswa kembali hadir dalam habitatnya. Kita perlu merefleksikan diri kita, apakah kita menjadi seorang yang hedon dan yang apatis terhadap bangsa dan negara, mengutamakan budaya konsumsi yang tinggi, serta berkiblat pada westernisasi yang sifatnya negatif, ataukah menjadi agen of change dan seutuhnya menjadi partner yang baik dalam membangun bangsa dan negara.
*tulisan dalam keadaan tertekan karena deadline :D
*tulisan dalam keadaan tertekan karena deadline :D