Saya suka naik motor, kalau ke kampus, biasanya saya naik ojek dulu ke luar komplek perumahan. baru selanjutnya disambung lagi dengan angkot. Dan setelah itu naik ojek lagi. Naik ojek memberikan sensasi dingin-dingin getar. Hm. Mungkin lebih tepatnya sejuk-sejuk getar. Kenapa? Karena naik ojek itu sejuk dan bikin getar2. Kenapa getar-getar? Karena itulah yang saya rasakan.
Maka sekarang ini saya menaiki sesuatu yang tidak akan saya sebutkan apa itu sampai akhir tulisan ini, untuk alasan mendramatisir.
Tapi yang jelas, sesuatu ini sungguh lebih dahsyat daripada motor. Pantat saya bergetar tiada tara.
Tapi tidak hanya itu saja. Tangan saya bergetar, kuku saya bergetar, N70 saya bergetar.
Rambut saya juga bergetar.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah ini sebuah gempa? Aku yakin tidak, karena bulu hidungku tidak bergetar. Hidungku memang bergetar, tapi bulu hidungku tidak.
Memang bulu hidung saya sakti. Kayak kera sakti, tapi gak pakai kera.
Hidung pakai kera gimana ya?
Apakah ada keranya?
Apakah kera itu bergetar?
Pertanyaan-pertanyaan itu menyimpan sebuah misteri besar, yang pasti akan kukuakkan, setelah mata saya selesai bergetar.
Hati saya pun juga bergetar. Tapi bukan getar cinta, melainkan getar rindu.
Getar warnanya coklat.
Eh, itu gitar.
Lalu seluruh dunia seakan akan runtuh di hadapanku. Di sampingku, di depanku, di belakangku. Di atasku, di dalam hatiku, di dalam gubuk tak bernomor tak berpenghuni di pinggiran sebuah kota anonim tak beradab. Kenapa kota anonim itu tidak beradab, saya tidak tahu.
Lalu tibalah puncak akhir sebuah perjuangan.
Tapi sebelum saya akhiri, saya ingin mengherani kenapa saya begitu terobsesi pada getaran.
Oke, inilah saatnya.
Sebuah akhir dari sebuah awal.
Saya membuang hajat dengan sukses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar