Jumat, 18 November 2011

Monolog Sudut Senja


         


     
          Ketika kutiup harmonika tua pada senja yang memerah merona dengan hiruk pikuk para burung-burung gereja yang ingin pulang ke kandang memecah kesunyian membentuk segerombolan abstrak mengguratkan keindahan semesta berdarah, seketika itu juga aku teringat pada tatapan matamu yang memelas membujuk dan memaksaku untuk tetap berada disampingmu di stasiun kereta waktu itu, dan menahanku untuk beberapa waktu untuk tetap berada disisimu. Dilema menyelimuti aku waktu itu Rika. Kau tau aku ini pergi agar aku bisa dan pantas bersamamu nanti. Agar bisa bertanggungjawab pada beberapa perut yang akan diisi dengan sesuap nasi ketika kita menikah nanti. Agar bisa menyediakan beberapa papan untuk berteduh sehingga aku bisa bertanggungjawab pada tubuh-tubuh yang membutuhkan kehangatan ketika hujan dan panas datang. Namun di sisi lain aku juga ingin bersamamu menikmati hari-hari yang penuh dengan senyummu yang membuat hatiku selalu bersama mega-mega yang membentang indah dengan hiasan pelangi diatasnya walaupun tanpa hujan yang datang sebelumnya dan disirami daun-daun kering yang jatuh dari ranting karena tiupan angin secara perlahan. 
          Rasanya aneh ketika berada di beranda sebuah apartemen murah di tengah kota ini, dan mendengar alunan harmonika yang biasanya aku mainkan ketika disampingmu, dibawah pohon beringin yang rimbun daunnya, yang selalu menjadi tempat bermain bagi aku, kamu, dan segerombolan burung-burung gereja yang membangun kehidupan, berkembang biak, membuat sarang, bercinta, beranak pinak, lalu mati, dan kamu seperti biasa selalu tertidur atau menidurkan diri di bahuku sambil memicingkan mata dan berdendang ringan seiring nada seruling ini aku alunkan. Dan kemudian kamu melingkarkan tanganmu ke lenganku seakan tidak ingin aku ini menjauh sejenakpun dari hidupmu. Hatiku waktu itu, Rika... Bagaikan padang perdu yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni pemikat dan melayangkan harumnya bau rumput segar yang membentang sepanjang batas langit, langit yang biru bersemburat kapas-kapas putih, indah.
          Sudah dua kali senja aku terduduk di beranda apartemen murahku, memegang harmonikaku, sambil sesekali membaca -untuk yang kesekian kalinya- serangkaian kata yang kau tulis di sepucuk kertas. Kertas yang kini sudah remuk karena aku genggam kuat-kuat dan yang berisikan untaian tinta membentuk kata yang tidak bisa dibaca lagi karena kejatuhan benda cair di atasnya. Air mata aku. Namun aku sudah tau kata-kata apa yang kau tulis. Kalau kau rindu aku, aku pun juga begitu! Bukan keinginanku untuk menjauh darimu, Rika. Namun, tahukah kau betapa terikatnya aku pada tumpukan kertas yang bernama laporan, yang harus aku berikan pada si pemilik uang setiap harinya? Tahukah kau betapa terikatnya aku pada masalah-masalah yang dibuat oleh umat manusia yang angkuh, pada kedok para pemimpin yang haus akan harta, pada tangisan manusia atas kehidupan yang penuh nestapa, lalu kemudian menyampaikannya pada masyarakat melalui tulisan yang bernama berita? Semakin kacau dunia, semakin banyak berita, dan semakin banyak uang yang akan mengalir ke kantongku. Ke kantong kita, Rika. Begitu bejat bukan pekerjaanku, Rika? Di saat manusia diratapi gelombang pilu, maka di saat itu pula aku berpesta pora. Hahaha... aku bercanda, aku tidak sebejat itu, sayang... Ini cuma istilahnya saja. Yah... bercanda itu perlu. Kalau tidak, apa lagi yang akan kita nikmati? Hidup ini penuh dengan kepahitan. Satu kalimat yang sama-sama kita setujui bukan? Wartawan itu kupikir tugas yang mulia ah.. Mereka memberi tau informasi sebanyak-banyaknya kepada manusia-manusia yang penasaran.  Kata teman-teman kerjaku, bad news is good news. Itu bahasa orang-orang yang tinggal di daratan eropa sana. Kau tau artinya? Tidak? Hm, biar nanti akan kuceritakan padamu ketika kita bertemu lagi, di bawah pohon beringin itu, setelah aku meniup harmonika dan kau berdendang seperti biasa.
          Hidup ini menurutku aneh, Rika. Sampai sekarang aku masih selalu bertanya-tanya, sebegitu susahnyakah menahan satu hal yang bernama nafsu serakah sehingga rela merebut sesuatu yang bukan menjadi haknya? Bagaimana bisa si penguasa bertingkah rakus dan tamak -seperti hewan, bahkan kupikir hewanpun lebih berperasaan dari pada mereka- ketika keadaan ekonomi manusia semakin menyentuh garis kemiskinan? Banyak sekali orang yang menuntut haknya dengan urat tegang dan mulut berbusa, namun telinga mereka seolah tersumbat lilin sampai ke liangnya, kedap. Kata temanku sih, mereka, si penguasa itu, tidak hadir pada saat tuhan membagi-bagikan otak secara gratis kepada manusia, makanya otaknya bebal setengah mampus. Eh, aku bercanda lagi nih sayang... Tapi... bercanda memang perlu kan?
          Bagaimana kabar Agus, adikmu yang dulu masih duduk di bangku kelas enam SD ketika aku tinggalkan? Berapa tahun kita tak bertemu? Empat? Lima tahun? Pasti ia sudah remaja ya sekarang. Waktu ini Rika... Waktu ini seperti berlari! Tidak ia izinkan kita sejenakpun untuk berlenggang. 
          Hari semakin petang, Rika... Beberapa jam lagi di kota ini, kau tahu, ini waktunya wanita-wanita tunasusila, berdiri di bahu jalan, memperdagangkan kelamin mereka. Pun juga waktunya untuk lelaki-lelaki berwig perempuan, berias wajah, dada disumpal dan dengan kemayu melekukkan kakinya -yang mulus tanpa bulu karena dicukur sebelumnya- untuk menarik perhatian bos-bos lelaki yang mengalami penyimpangan orientasi seksual. Dan ini juga waktunya bagi kaum-kaum borjuis membagi-bagikan uangnya pada jalan asusila, berpesta menghabiskan malam dengan lampu bulat yang berkerlap kerlip diiringi dentuman musik, dan mereka pun bergoyang liar. Namun aku yakin, bagimu, pasti alunan harmonikaku lebih membuatmu terbuai. Ia kan, Rika?
          Rika... Rika... Makanya aku setengah mati tidak mau mengajakmu ke kota ini. Bukannya aku tidak ingin bersamamu. Namun, aku tidak akan membiarkan gadis lugu sepertimu mendekati tempat dimana nafsu dibiarkan bertumpah ruah. Sebuah cawan penuh nafsu bernama kota besar. Biar aku saja. Biar aku saja yang kembali padamu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails