Sekalipun pertemuan sore itu masih membayang di selusur
ingatanku, aku masih lupa, atau barangkali samar-samar, untuk mengingat detail
dirinya, bagaimana betul raut wajahnya. Yang kuingat hanya suasana pada sore
itu. Karena ketika kami bertemu, hampir tak pernah aku menatap wajahnya secara
langsung. Bagaimana bisa aku membuang sepersekian kesempatan yang diberikan
waktu padaku untuk menikmati sore dengan menatapnya lekat-lekat, agar, yang
kuingat sekarang bukan hanya suasana, tetapi juga orang itu.
Perlahan, aku memejamkan mata. Entah bagaimana drama ini akan
berakhir. Entah kepada siapa hati ini tertuju, aku masih tidak mengerti. Bagaimana
mungkin aku menjadi penghianat pada beberapa orang yang sudah begitu baik
kepadaku.
Telah dua hari ini ia tak lagi biasa. Ia, manusia yang tak
mau bertatap muka pada pagi dan matahari, selalu bersedia bertemu
denganku saat malam. Dan dua hari ini tak lagi biasa. Apakah karena ia membenci
pagi dan aku manusia penatap pagi kemudian ia juga menjadi membenciku?
Malam tadi, aku juga menunggunya, seperti malam-malam yang
lalu. Tiga puluh menit, enam puluh menit, aku memicingkan mata menunggunya
datang. Satu jam, dua jam, tiga jam, dan aku terlelap. Dan terjaga pada
terangnya sinar matahari yang menyeruak masuk melalui celah jendela.
Di bawah matahari, kemudian aku mengawasi dirinya. Aku tahu
kemungkinan bertemu dengannya pada saat terang ini adalah nol. Itulah mengapa,
aku menganggap diriku menyia-nyiakan kesempatan yang datang pada saat senja
itu. Dan aku tetap mengawasinya, menunggu si hantu malam itu khilaf dan keluar
dari persembunyian, sembari aku berkhianat pada hati yang lain.
Pada malam berikutnya, aku dan dia akhirnya bertemu. Sebelum
aku mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba ia berucap, “Aku tak bisa menunggu
orang yang tak tau kepada siapa ia memilih. Maka jangan lagi hidup pada malam,
dan terjagalah pada pagi agar kita tak bertemu!”
Saat itu ada purnama. Indah. Aku tetap terjaga. Malam ini, aku
akan melihatnya sendirian. Sendirian.