Selasa, 28 April 2015

Secangkir Teh

Ada masanya aku sangat tidak mencintai kesendirian.

Masa dimana kesendirian sama saja dengan saat diwaktu aku sangat menginginkan teh manis hangat dan memesannya di sebuah cafe langganan, namun kenyataannya teh yang diberikan adalah teh yang sudah dingin dan hambar.  Rasanya enggan untuk mereguk walaupun lagi haus mampus sekalipun. Karena pada awalnya sudah ada pengharapan dan ekspektasi bahwa aku akan disajikan sebuah teh manis yang hangat, dan ketika teh tersebut menyapu kerongkongan hingga perut, sudah terbayang olehku rasa hangatnya yang menyeluruh ke tubuh. Dan dalam ekspektasiku, setelah meminum teh manis hangat tersebut aku akan tersenyum kecil. Namun tidak. Teh ini tidak sesuai dengan pengharapanku. Dan aku berhak protes karena aku membayar untuk secangkir teh manis hangat. Bukan untuk secangkir teh dingin yang hambar. Sekali lagi, bukannya aku tidak bersyukur, hanya saja, ini sebuah negoisasi. Rasa kesendirian yang dulu lamat lamat kunikmati, kini menjelma sebuah serangan. Bagaikan kawan lama menjadi musuh.

Ada lagi masa dimana rasa cinta ku makin menjadi.

Namun cinta kali ini tak memberikan efek bergantinya lagu di playlist handphoneku menjadi sedikit melow, atau mendayu dayu menghujankan kata kata cinta. Tak memberikan efek penuhnya ruang ruang kosong di buku tulisku dengan bentuk hati serta diiringi namanya. Tidak. Tidak cinta yang efeknya sama ketika kau jatuh cinta saat di bangku sekolah. Cinta kali ini sangat mendewasakan hati. Memaksaku untuk diam ketika teh manis hangat yang kupesan tak dihidangkan di meja. Mengelus dada dan bersabar ketika menyeruput teh dingin yang hambar, sembari memaksa untuk tersenyum menerima dan menelan secangkir penuh sampai dasarnya kering tak bersisa. Tak peduli itu adalah sebuah negosiasi yang mana adalah ‘bodoh’ karena aku tidak komplain padahal aku berhak untuk itu. Aku berhak atas harga yang aku bayar untuk sebuah orderan yang tidak aku pesan. Namun tidak, aku menenggaknya saja sampai habis.

Terhimpit di antara dua masa itu, tubuhku memberontak, membuat intinya hampir terkoyak. Bagaimana bisa hal yang begitu indah dengan hal yang begitu ironi bisa beririsan keberadaannya seperti ini? Ingin berteriak namun hanya kepalan tangan yang terasa. Kepalan yang kuat hingga kuku kuku jariku yang belum kupotong sedikit menembus daging telapak tanganku. Seharusnya sakit, namun kali ini belum terasa.

Haruskah aku maju atau kembali?

Ketika pelayan itu terus terusan memberikanku teh dingin hambar setiap kali aku memesan, akankah rasa muak itu muncul? Atau aku hanya bisa menenggak habis kedinginan yang kurasakan sampai aku ingin berkali kali kencing itu? Akankah aku berani untuk komplain? Ketimbang hanya menerima dan lebih lebih memberikan tips sebuah senyuman manis serta melayangkan ucapan ‘terima kasih’?

Sungguh tanda tanya yang begitu banyak. Entah kapan  tiba waktunya saattanda tanya ini menusuk ubun ubun kepalaku sehingga aku berhenti untuk bertanya terlalu banyak.

Ingin sekali aku kembali ke masa itu. Masa dimana aku menikmati kesendirian, dengan menyeruput segelas teh manis hangat dalam damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails