Rabu, 26 Desember 2012

Jadi Sampah

Apa kamu memiliki sampah hidup disekitarmu? Aku ada. Dia menjelma menjadi seseorang yang dinamakan teman. Kami sering bersama-sama. Kemana-mana bersama. Namun tak sehela pun tercium bau sampah dari tubuhnya. Aku penasaran, kira-kira apa gerangan merek parfumnya. Sebanyak apa sampah tersebut menebarkan parfum sampai-sampai lalat pun tak sadar ada sampah hidup! Rupanya tak seorang pun sadar kalau si teman ini sebetulnya adalah sampah. Aku tau dia sampah. Mengapa tidak, saya pernah melihat si sampah berjalan-jalan di pasar, beli parfum dan membeli jubah bermerek manusia jenis wanita. Awalnya si sampah bingung mau pilih jubah model apa. Tapi setelah si sampah putar-putar sampai toko tersebut dikerubungi lalat, dan dari dirinya berjatuhan kotoran yang hampir memenuhi lantai toko, akhirnya sampah memilih model manusia wanita berjilbab dengan postur langsing wajah putih bak  model yang sering dilihatnya di televisi. Sebuah kotak yang akhir-akhir ini kebanyakan berisi sampah. Sampah kayak si sampah.
Ada banyak sampah berserakan di bumi. Sampah yang menjelma menjadi seorang yang bernama teman di lingkunganku sangat ceria dan menyenangkan. Perbuatannya sangat santun tanpa cela. Ibarat gelas, tak satupun yang retak, apalagi sumbing. Ucapannya sangat manis di depanku. Kadang aku heran, apa gerangan yang ia makan sampai-sampai tak sehela pun tercium bau di nafasnya. Teman-temanku yang lain terperdaya si sampah, tapi aku tidak! Kan sudah kubilang, aku melihat si sampah berjalan-jalan di pasar, beli parfum dan jubah bermerek manusia jenis wanita.
Biasanya, kami nongkrong berkelompok di lantai lima sebuah gedung. Di kelompok kami ini, tiba-tiba si sampah merasa memiliki kuasa. Ia tiba-tiba menjadi orang yang sangat didengarkan. Si sampah menjadi orang yang tidak bisa dihindari kehadirannya. Rupa-rupanya ia menghias mulutnya dengan kupu-kupu warna-warni. Indah. Semua orang suka. Tapi kali ini aku mencium baunya! Bau bangkai! Bangkai kupu-kupu! Celaka, merek apa hidung yang teman-temanku punya sampai-sampai tak tercium bau bangkai menyengat setiap kali si sampah memuntahkan suara dan kata. Sudah kubilang jangan beli barang KW an kalau ingin kualitas yang bagus. Jikalau efek kebutaan pada manusia ada yang lebih parah dari cinta yang buta, maka buta yang dimaksud pastilah ini! Melihat namun tak benar-benar melihat. Ironi, kata temanku yang di Fakultas Sastra.
Aku tak ingin jadi sampah, jadi aku biarkan saja teman-teman sadar sendiri kalau dia sampah. Aku tidak bilang kalau si sampah ini adalah sampah, bisa-bisa aku ikut-ikutan jadi sampah. Aku melihat dan mendengarnya saja ketika ia bicara, bersamaan dengan keluarnya semburan dari mulutnya aliran kotoran yang jorok sejorok-joroknya kotoran. Aku melihat kotoran kental busuk berwarna kuning, kadang-kadang cokelat tua, kadang-kadang menyerupai hewan, kadang-kadang menyerupai lumpur. Terus mengalir, memenuhi lantai ruangan. Aku menjinjit kakiku biar kotorannya tidak mengenai sepatu, tapi kotoran si sampah sudah setinggi tiga puluh senti. Kaki teman-temanku terbenam sampai betis. Jijik, aku mengangkat kakiku ke atas kursi. Karena tindakanku berbeda dengan teman-teman yang lain, si sampah malah menatapku dengan matanya yang tajam. Kemudian ia tersenyum ke arahku, dengan mulut yang masih meneteskan sisa-sisa kotoran berbentuk tinja. Di giginya, terselip kaki dan sayap kecoa, dengan cairan kecoklatan yang sesekali menetes dari situ. Aku mual.
"Kenapa kamu bertingkah seperti itu, teman? Kamu berbeda dengan teman-teman yang lain. Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu tidak menyukaiku?" ujarnya sambil tetap tersenyum, dan tetap menyemburkan kotoran. Teman-temanku yang lain mulai menatapku dengan pandangan tak suka. Aku heran, sebagian pahanya sudah berubah warna. Warna sampah.
"Kenapa kau begini? Dasar tidak sopan!" ujar salah seorang temanku si Jujur. Ah, dari sela mulutnya ikut-ikutan meneteskan kotoran. Ditambah dari temanku ini, kotorannya sudah selutut.
"Jangan seperti ini, turunkan kakimu! Kamu harus seperti kami! Kami ini temanmu! Jika kamu tidak mengikuti kami, maka pergi jauh-jauh dari kami!" bentak temanku si Berani. Yuck! ia menjilat kotoran yang berlepotan di sudut bibirnya.
Si sampah kemudian mengorek giginya, mengambil bangkai kaki dan sayap kecoa. Si sampah mengulurkan bangkai itu padaku. "Ini untuk temanku. Ambil lah. Aku tetap baik padamu meskipun aku tidak menyukaimu. Makanlah bangkai ini, anggap sebagai hadiah pertemanan," ujar si sampah sambil tetap tersenyum, tetap menyemburkan kotoran. Sementara itu, hiasan bangkai kupu-kupunya berkilauan indah. Teman-temanku tersenyum melihat kebaikannya memberikan bangkai padaku.
"Maaf, tidak usah, aku kenyang," ujarku hati-hati, antara jijik dan takut dan mual.
"Aku sedih. Apakah salahku padamu, teman. Aku sungguh sedih melihat sikapmu begini," ujar si sampah tiba-tiba berwajah mengiba. Teman-temanku menatapku benci. Mereka beranjak berdiri ke belakang si sampah, bersama-sama berhadap-hadapan denganku.
"Apa gunanya kamu bersama-sama kami lagi jika kamu tak bisa menjadi seperti apa yang kami mau?" ujar si Jujur. Ia membelai-belai kepala si sampah, merasa kasihan. Cucuran kotoran dari mulutnya bertambah deras.
"Ayolah, kita tinggalkan dia sendirian. Dasar aneh! Gak usah deh dekat-dekat orang-orang keren kayak kita!" bentak si Berani.
Si sampah tiba-tiba berdiri. Menatapku, dan menyunggingkan senyum hingga bangkai kupu-kupunya bersinar indah dan busuk semerbak. Kemudian sampah mengomandoi teman-temanku, berjalan keluar dari ruangan itu. Sampah, teman-temanku yang baru saja menjadi sampah, beserta segenap kotoran-kotorannya, lenyap dari lantai lima itu.
Aku termenung. Sendirian. Aku melihat ke bawah gedung. Ada lautan sampah. Sampah, harus dibuang pada tempatnya. Namun jikalau aku tinggal dan hidup di tempat sampah, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus ke pasar, beli parfum wangi sampah, dan beli jubah bermerek sampah, kemudian berpura-pura jadi sampah? Bisa-bisa aku jadi sampah beneran!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails