Masa muda Laras tak begitu secerah dirinya yang sekarang. Namun begitu, tetap tidak mengurangi rasa tertarikku untuk mengetahui setiap masa yang pernah ia lalui. Laras yang dulu penuh dengan masa-masa dimana ia ingin selalu dianggap dan dihargai. Tak ada hari tanpa ingin dipuja dan dipuji. Tak ada hari tanpa tak ingin dibenci dan menolak penolakan. Angkuh. Egois. Karakter Laras yang sangat aku kenal dan aku pahami.
Laras benci hari Sabtu. Bukan karena dia tidak punya cinta yang bisa dinikmati ketika malam datang. Bukan karena phobia atau apa, dan, sejujurnya, bukan karena hari Sabtu. Tapi, karena hari tersebut hari Sabtu, makanya ia benci. Di hari Sabtu sudah umum dan biasa bahwa anak-anak sekolah memakai baju pramuka. Dan itulah yang dibenci Laras. Baju pramuka. Bukan karena kurang modis, bukan juga karena Laras tak suka warna cokelat. Baju pramuka, membuat keringatnya terlihat jelas.
Laras benci hari Sabtu, terlebih ketika ia menginjak sekolah menengah atas. Di sekolah menengah pertama, Laras tak mengacuhkan keringatnya. Mungkin, karena belum tau apa arti dari kalimat "menarik perhatian lawan jenis", atau kalimat "selalu terlihat menarik dan sempurna". Dan Laras tersadar akan hal itu, ketika ia masuk ke gerbang sekolah menengah atas. Sebuah tempat dimana nafsunya pertama kali ia buncahkan tanpa henti. Tempat tak terkendali. Dan saat itulah, Laras mulai khawatir dengan keringat.
Hiperhidrosis. Laras punya keringat berlebih dalam dirinya. Penyakit ini mengutuk seseorang menjadi selalu basah di tempat-tempat tertentu seperti telapak tangan, leher, ketiak, dan lipatan-lipatan tubuh lain. Naas bagi Laras, ia dikutuk di bagian ketiak. Dan laras malu akan hal itu, meskipun tidak bau. Menurutku, ia selalu wangi. Dan dia terlalu memikirkan daerah lembab di sekitar ketiaknya tersebut. Malu, karena jika orang lain melihat hal tersebut, Laras berpikir orang lain akan menjauh. Laras pun sepertinya paham betul bahwa hal tersebut akan mengurangi citra dirinya yang selalu mempesona. Laras pun sepertinya paham betul harinya akan rusak di hari Sabtu. Itu semua, pun juga karena Laras paham betul, orang-orang lebih cenderung melihat daripada memahami.
Laras benci hari Sabtu. Dan pada Jumat malam, Laras stress dan depresi. Ia memukul-mukul ketiaknya sekuat tenaga. Mungkin ia berpikir, keringatnya tidak akan keluar lagi pada pagi harinya. Menurutku, ia sadar dan paham betul, bahwa memukul-mukul ketiak tidak berhubungan dengan tidak berkeringat lagi. Karena itulah kubilang Laras stress setiap Jumat malam. Sabtu paginya, Laras mengoleskan banyak sekali deodorant, berharap ketiaknya bisa tetap kering sekering pagi ini. Letih hati, letih mental, itulah hari di hari Sabtu Laras. Sampai akhirnya Laras menemui batas muak dan bencinya. Benci pada ketiak.
Sabtu pagi di minggu berikutnya, Laras menggenggam gunting, dan kemudian mengangkat sebelah ketiaknya. Bulu ketiak Laras masih halus. Belum bisa digunting. Maka gunting tersebut Laras gunakan untuk menusuk-nusuk ketiaknya. Ke kedua ketiaknya. Hingga ketiak Laras berkeringat merah. Banyak sekali.
Sehingga, pada hari itu, Laras menemui hari Sabtu indahnya yang pertama. Ajaib, ketiaknya kering! Katanya padaku, ia berterima kasih pada sebuah benda. Bukan, bukan deodorant. Bukan juga pada gunting. Pembalut.