"Apa salahnya berteman dengan bencong?!" keluhku pada Ibu yang sedari tadi mengguruiku dengan berbagai macam ultimatum. Aku tak lagi boleh berdekatan dengan teman dekatku. Kata beliau, ia hanya akan membawa kesan negatif pada diriku sendiri. Hanya akan membuat malu diri sendiri di depan masyarakat.
"Saya cuman tidak ingin kamu malu nantinya! Apa kata orang-orang kalau setiap hari kamu duduk berdua dengan banci itu, tertawa-tawa entah apa yang ditertawakan. Kalian terlalu dekat!" suara Ibu mulai bergetar. Dan saya yakin sebentar lagi beliau mulai menangis. Dan seiring dengan keluarnya air mata Ibu, praktis saya akan dianggap durhaka. Tapi beliau memang sensitif. Salahkah saya untuk tidak peduli?
"Orang-orang aja gak tau apa yang saya bicarakan dengan dia, kalau mereka kemudian malah menuduh saya yang bukan-bukan atas dasar apa yang tidak mereka ketahui, kenapa saya harus mendengarkan mereka?" ujar saya melengos.
"Jadi kamu lebih peduli dengan banci itu daripada perkataan orangtuamu ini?" Ibu. Menangis. Saya durhaka.
"Bukan itu permasalahannya. Dia itu teman saya dan dia sedang membutuhkan saya sebagai temannya! Saya lebih memilih teman daripada harus mendengarkan setiap perkataan orang-orang yang bisanya menuduh saya yang bukan-bukan. Mereka tidak tau bagaimana saya, dan kenapa juga saya harus mendengarkan apapun perkataan mereka? Haruskah saya mendengarkan dan memenuhi keinginan setiap orang-orang yang selalu bergunjing atas apa yang tidak mereka ketahui tentang saya? Orang-orang yang hanya menilai saya dari apa yang mereka raba-raba?"
"Pokoknya sekali lagi saya melihat banci itu datang ke rumah ini lagi, saya yang akan turun tangan untuk mengusir dia dari sini!"
"Apakah karena dia berbeda dengan yang lain terus kita ini lebih baik daripada dia? Apa kita ini termasuk golongan yang lebih terhormat daripada dia? Apa ibu pikir saya ini normal? Banyak hal yang lebih berharga dan lebih penting untuk dilihat dan dinilai. Penampilan luar, harta, kekayaan, jabatan, kita semua buta dengan itu. Buta! Tuhan saja tidak pernah membeda-bedakan makhluk!"
Sebuah cerocos yang tidak akan didengarkan. Saya terduduk lemas. Sangat lemas sekali karena pengeluaran emosi ini sungguh-sungguh menguras tenaga. Saya benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana. Haruskah saya mengacuhkan teman yang begitu baik pada saya hanya demi memuaskan penilaian orang-orang tentang pribadi saya? Sepenting itukah pencitraan walaupun menipu diri dan hati sendiri? Bukankah itu yang dinamakan munafik? Bukannya itu bertentangan dengan apa yang dituliskan dalam buku PPKN tingkat SD?
Saya mengalah. Sungguh saya tidak mau durhaka karena mengacuhkan perintah orangtua. Sudah beberapa minggu ini saya mengacuhkan si teman. Dan selamat kepada orang-orang penilai yang bernama masyarakat, berterima kasihlah pada saya karena saya telah memuaskan keinginan kalian semua!
Akhir-akhir ini orang tua saya kembali tenang. Bahagia melihat anaknya mengajak seorang teman ke rumah. Seorang wanita berparas cantik, ramah, dan hangat. Tidak banci, tidak kelihatan tidak normal, dan tentunya, membawa citra yang positif untuk anaknya. Bukankah sebentar lagi anaknya akan dibilang supel dan pandai bergaul? Apalagi temannya ini memiliki nilai plus, bahkan jika orang-orang tersebut melihat kami dengan menyipitkan mata mereka, tidak akan masalah, tidak akan ada citra yang buruk!
Si orangtua menghela nafas lega.
...
Di beranda, dua orang wanita bercakap.
"Akhirnya aku bisa juga ke rumah kamu, yang.."
"Kan udah aku bilang, aku bakal ngajak kamu, ngenalin kamu sama orang tua aku"
"Aku khawatir mereka gak suka hubungan kita.."
"Aku jamin gak akan ada masalah. Mereka bakal suka,"
"Hihi.. keluarga kamu aneh.. Tapi aku bahagia. Makasih ya sayang.."
Dan mereka berpelukan mesra.