Minggu, 20 Januari 2013

We Need to Talk About R.W

Pertama-tama saya ingin meminta maaf kepada orang-orang yang telah saya lukai secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, judul ini terinspirasi oleh judul movie yang baru saja saya tonton, We Need to Talk About Kevin. Erza Miller sungguh tampan. 



Pernahkah kamu mengkloning dirimu sendiri di dunia maya? Saya pernah. Di situs jejaring sosial facebook, saya membuat sebuah akun palsu. Di akun tersebut saya memerankan seorang tokoh cowok yang saya beri nama Regi Willian. Tidak penting kenapa saya memilih nama itu karena gak penting juga, yang penting adalah mengapa saya membuat akun palsu tersebut. Bila anda mengharapkan suatu ketenangan serta kedamaian diri ketika membaca tulisan ini percayalah saya tidak pernah menjanjikannya lantas pecahkan saja monitornya bila kesal melanda anda atau mungkin silahkan curi ayam tetangga anda dan siapkan diri anda meregang nyawa karena dihajar masa. Apapun yang anda lakukan ya terserah anda sajalah asal jangan cubit pantat saya, ok! 
Saya membuat image Regi Willian sebagai seorang yang to the point, jujur (dalam artian, walaupun kejujurannya itu akan menyakitkan bagi orang lain dan cenderung membuat orang benci), dan blak-blakan, baik dalam komentar atau status di akun tersebut. Di akun tersebut saya meng add beberapa orang yang sifatnya tidak saya sukai dalam kehidupan nyata. Dan di akun itulah, saya menyerang orang-orang tersebut melalui tanggapan-tanggapan terhadap apapun yang mereka tulis. Sebuah tanggapan jujur -yang tanpa babibu langsung ke permasalahan, tanpa ada muqadimah dulu agar pendapat tersebut tidak terlalu menyakitkan. saya analogikan seperti jatuhnya sebuah batu ke lantai. bukan seperti pesawat yang akan mendarat- dan memang sebuah tanggapan yang muncul murni dari otak saya. Di akun tersebut, saya bebas mengomentari apapun, dengan apapun yang ingin saya katakan. Di akun tersebut, tak ada seorang pun yang membuat saya ragu untuk berkata jujur tanpa takut menyakiti hati orang tersebut. Selagi saya bersembunyi di balik nama Regi Willian, saya merasa aman. 
Selang beberapa bulan akun tersebut beraktifitas, semakin banyaklah orang yang mulai kesal dengan tokoh Regi Willian. Banyak yang memblokir akun tersebut, mengacuhkan setiap komen yang saya tuliskan, atau yang paling asyik menurut saya, beradu argumen dengan orang-orang tersebut. Sungguh, ketika beradu argumen di dunia nyata saya lebih memperhatikan kata-kata saya apakah orang tersebut akan tersinggung atau tidak dengan pendapat saya, apakah pendapat saya terlalu dangkal atau tidak, nyambung atau tidak, di akun ini saya lebih liar, cuek, dan apa adanya. Gak peduli apa kata orang.
Saya menikmati setiap momen dimana saya bisa bertindak bebas mengeluarkan apa isi pikiran saya kepada orang-orang, tanpa khawatir terhadap perasaan orang tersebut. Ada sebuah perasaan lega dan puas ketika saya berhasil jujur, dan bahkan membuat orang tersebut kalah (bahkan kesal) dalam adu argumen. Memang, saya akui, kegiatan ini sama sekali tidak sehat, tapi saya menikmatinya! Saya tidak peduli bagaimana perasaan orang mendengar tanggapan-tanggapan saya. Saya menikmati menjadi dalang dari Regi Willian. Seperti memainkan boneka tali, bisa diatur dan digerakkan sesuai dengan keinginan kita. Apapun yang kita lakukan, kemarahan akan ditimpakan kepada si boneka, Regi Willian, bukan kepada saya sebagai tokoh di balik semuanya. Kehidupan saya sebagai Regi Willian ditutup rapat-rapat, saya tidak ingin ada seorangpun yang mengetahui hal tersebut.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya ketika Bulan Ramadhan, yang merupakan saat ketika saya dan Dewi, teman dekat saya sedari kecil sering memiliki waktu bersama, mulai dari subuh sampai tarawihan malamnya. di bulan itu kami sering curhat-curhatan, saling jujur tentang masalah satu sama lain (karena di bulan itulah intensitas kami bertemu sangat tinggi karena pada dasarnya kami beda kampus dan punya kesibukan masing-masing walaupun kami berada dalam satu kompleks perumahan). Dan akhirnya, saya menceritakan rahasia terbesar saya kepada teman saya tersebut.
Malu. Itu yang saya rasakan. Saya memang jujur berkata kepada orang lain di akun tersebut. Tapi di lain sisi, saya menyadari satu hal, selama ini saya tidak jujur kepada diri saya sendiri. Mengapa harus menjadi orang lain dulu untuk jujur? Mengapa harus berpura-pura dan menipu diri sendiri di kehidupan nyata? Mengapa harus menelan bulat-bulat pendapat yang menurut kita benar demi menjaga perasaan orang lain? Mengapa saya begitu bodohnya membiarkan diri saya sendiri tertekan oleh pendapat-pendapat yang tidak bisa saya keluarkan hanya demi menghargai perasaan orang lain? Apakah saya sudah termasuk si Sampah yang ada di postingan saya kemaren? Silahkan jawab. Atau bisa juga gunakan bantuan phone a friend, ask the audience, dan fifty fifty. Atau kirim sms sekarang juga dengan format ketik eji (spasi) jawaban kirim ke 3288 sekarang juga, siapa tau bisa dapat bingkisan bagi siapapun yang mengatasnamakan dirinya hamba Allah. Maaf, bila anda hendak mengirimkan bom waktu, silahkan kirimkan ke alamat yang tertera di bawah ini.. *nunjuk ke bawah*



(Jl. *********** No. *******)

Dan begitulah, akun tersebut akhirnya saya hapus. Mungkin itulah masa labil saya yang mana akan saya kenang untuk kemudian ditertawakan dan diambil hikmahnya serta dijadikan pengalaman hidup. Dan nama Regi Willian sendiri adalah sebuah kekeliruan yang mana ketika seharusnya huruf "N" pada Willian adalah huruf "M" dikarenakan saya ingin menciptakan akun ajang balas dendam (atau kepribadian yang lepas kontrol karena banyak kejujuran yang harus dipendam di kehidupan nyata yang disebabkan ketidakmampuan untuk mengungkapkan sesuatu secara apa adanya) tersebut agak bernuansa kebarat-baratan dengan nama William, tapi apa daya jari lentik kekar berotot ini pun juga tak luput dari kekhilafan pada saat pembuatan akun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails